24. Kesempatan

50 25 53
                                    

Kiranya sepuluh menit Lingga duduk pada salah satu bangku yang memang fasilitas minimarket. Perasaan campur aduk yang lagi-lagi hinggap berhasil menandaskan minuman tadi dengan cepat.

Terbukanya pintu minimarket untuk kesekian kali berhasil membuat Lingga beringsut bangkit menghampiri orang yang baru saja keluar dengan langkah tergesanya.

"Tante, tunggu." Lingga berusaha menghentikan langkah wanita di hadapannya yang tak menggubris Lingga sama sekali.

"Tante." Berhasil, Lingga mencekal pergelangan tangan wanita itu.

"Lepasin." Berontak Linda berusaha membebaskan pergelangan tangannya.

"Maaf, Tante, tapi Lingga ga bisa," ucap Lingga.

"Saya bisa teriak disini kalo kamu ga lepasin, ya," ucap Linda penuh ancaman.

"Tante, sekali lagi Lingga minta maaf karena udah lancang, tapi kalau kayak gini terus, kapan masalahnya selesai, Tante?"

"Bukannya setiap masalah selalu ada jalan keluar?"

"Lingga disini, Tante. Ada di sekitar Tante terutama Renjana. Lingga mau masalah ini selesai,"

"Selesai?" Linda menyentakkan tangannya kala cekalan Lingga melonggar. "Kamu pikir ini masalah sepele?"

"Lingga paham, ini sama sekali bukan masalah sepele, tapi apa Tante tau berapa umur Lingga waktu itu?"

"Semuanya terlalu ngagetin buat Lingga, Tante. Bahkan, banyak hal yang Lingga sendiri ga paham--"

"--Saya tunggu di rumah, kasian Renjana sendiri." Sergah Linda yang langsung berbalik arah dan mulai melangkahkan kakinya.

Lingga menatap punggung wanita itu yang mulai menjauh. Apa ini sebuah kesempatan?

Tak mau membuang waktu percuma karena rasa ketidakpercayaannya, lelaki tujuh belas tahun itu dengan cekatan menyusul Linda menggunakan motornya. "Tante, ayo naik." Ucap Lingga dibalik helmnya.

Melihat Linda yang tak memberikan respon apapun membuat lelaki itu melajukan motornya, kemudian berhenti tak jauh dari wanita yang tengah menjadi objek pandang Lingga.

"Tante, ayo. Kasian Renjana sendirian,"

***

Lengang adalah kata pertama yang mungkin akan Lingga sebut secara spontan jikasaja ada yang bertanya, tentang bagaimana rumah Renjana saat usia gadis itu menginjak tujuh belas tahun.

Memindai netranya ke segala arah, ia tahu betul bahwa memang sepertinya tak ada perubahan sedikitpun yang dilakukan di ruangan ini.

"Renjana lagi istirahat." Ucap Linda seolah tahu isi pikiran Lingga.

Belum sempat menjawab, wanita itu lebih dulu melangkah meninggalkan Lingga yang terus berdiri.

Sepasang netranya tertuju pada meja yang dulu selalu menjadi tempat dirinya dan Renjana menggambar bersama.

"Inget, warnanya jangan dicampur ya, Lingga." Ucap seorang gadis kecil yang terus fokus pada buku mewarnai bergambar Cinderella miliknya.

"Iya-iya, lagian kenapa, sih emang?" Tanya anak lelaki di hadapannya.

"Nanti kotor krayonnya," jawab gadis usia delapan tahun itu.

Sudut bibir Lingga tertarik kala dirinya seolah menemukan satu memori yang hampir hilang. Ia juga sadar, bahwa pertemanan masa kecilnya dengan Renjana memang semanis itu.

Atensi dan kesadaran Lingga sepenuhnya teralihkan oleh kedatangan Linda dengan dua cangkir teh yang kemudian di letakkan di atas meja.

"Duduk." Titah Linda yang baru saja mengambil posisi duduk diikuti oleh Lingga yang memilih single sofa.

Kriiingg

Dering telepon rumah yang nyaring meminta jawaban terus memanggil wanita dua puluh sembilan tahun.

"Halo," sahut Linda.

"Lho, Teh, kenapa?" Tanya Linda kala mendengar isak tangis dari seberang telepon.

"Renjana, Da. Renjana kecelakaan ... " Jawab wanita yang berada dalam panggilan dengan suara yang sesekali tercekat.

"Hah?! Kok bisa, Teh? Sekarang Teteh dimana? Keadaan Renjana gimana?" Tanya Linda lagi tak kalah beruntun.

"Renjana jadi korban tabrak lari waktu lagi main, kepala belakangnya kebentur." Terdengar tarikan napas yang begitu berat. "Dokter bilang, dia kena cidera kepala belakang dan kemungkinan bakal ... Buta,"

Kepala Linda pening seketika, detak jantungnya berpacu lebih cepat serta telapak tangan dan kakinya menjadi dingin. Melirik ke arah jam yang terpampang, arah jarum jam yang hampir menuju angka sebelas itu tak mampu menjadi alasan Linda untuk menunda semuanya.

Dengan cekatan, wanita itu bersiap-siap menuju rumah sakit menggunakan jasa ojek pangkalan terdekat yang beroperasi selama dua puluh empat jam.

Selama di perjalanan, tak henti-hentinya Linda bertukar kabar melalui pesan singkat pada ponselnya dengan kakak perempuan semata wayangnya itu.

Sekitar satu jam lamanya Linda menunggu di lobby rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekitar satu jam lamanya Linda menunggu di lobby rumah sakit. Netranya tak henti menatap setiap orang yang berlalu lalang.

Merapal segala doa yang ia bisa dalam hati, berharap perasaannya yang semakin tak karuan berangsur hilang. Jemarinya tak henti mengetuk pahanya sendiri sebagai bahasa tubuh, bahwa wanita dua puluh sembilan tahun itu amat gusar.

Ia menatap layar ponsel yang menampilkan isi pesan singkatnya dengan Nadira, menunggu pesan balasan yang tak kunjung ada.

Sirine ambulan yang terdengar jelas rasanya bukan hal yang mengejutkan di area rumah sakit. Namun, hal tersebut selalu mampu mengalihkan atensi beberapa pasang mata, terlebih saat lima orang perawat serta tiga dokter yang berlarian menuju ambulan. Sepertinya, suatu peristiwa yang memakan lebih dari satu korban jiwa telah terjadi malam ini.

Linda tergugu kala melihat tiga orang pasien yang di bawa menggunakan brankar ambulan secara beriringan.

Rasa pening yang sejak tadi menyerang seperti hilang ikut terbawa oleh roda-roda kecil brankar tersebut. Bahkan, ia sampai lupa cara bernapas dan berkedip.

Nginep dulu di ruang masa lalunya Linda semalem ya, besok lanjut lagi oke

Stay healthy && happy, darl

PETRICHOR  [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang