Day 1 : Kalung salib

12 0 0
                                    

Happy reading and sorry for typo
_______

Hari ini seperti biasanya, Dea bimbingan di ruang OSIS dengan Dearga dan kepala sekolah SMA Garuda. Ia melaporkan apa saja yang ia rasa penting dan perlu SMA ini terapkan dari sekolahnya begitu juga sebaliknya. Program pertukaran pelajar ini seperti program study banding saja. Sayangnya perwakilan dari SMA Garuda tak di tempatkan di SMA-nya Dea, jadilah Dea yang harus melaporkan informasi tentang sekolahnya.

Pak kepala sekolah undur diri setelah menemani selama hampir 45 menit. Beliau berkata bahwa beliau harus rapat di luar sekolah sebentar lagi. Membuat Dea hanya bisa tersenyum canggung mengiyakan. Berbeda dengan Dearga yang biasa saja.

Kini, di ruang OSIS tersisa mereka berdua yang masing-masing sibuk dengan ponselnya. Dea sibuk mengecek arsip-arsip berkasnya. Sedangkan Dearga sibuk mengecek laporan-laporan dari anggotanya.

"Kak Dearga." Panggil Dea yang hanya dibalas dengan gumaman.

"Aku pamit duluan, boleh? Mau ke lapangan basket, ketemu Jemin. Ada perlu sama dia."

"Bareng aja kalau gitu. Gue juga harus kesana nemuin dia, ada yang perlu gue omongin."

Dea pun hanya mengangguk sembari mengikuti Dearga yang sudah lebih dulu bangkit. Langkah kaki pemuda itu ternyata cukup panjang. Hingga membuat Dea yang badan dan kakinya mungil tak bisa menyejajari langkahnya, dan malah tertinggal di belakangnya.

"Wii Dea, Lo ngapain di belakang?! Main petak umpet Lo?! Mentang-mentang pendek!!"

Demi Allah, seandainya saja ia boleh menjambak rambut Jemin. Rambut hitam pemuda itu pasti sudah ia Jambak sekarang. Kurang aja sekali dia berteriak begitu di depan umum. Niat sekali untuk mempermalukannya.

"Terserah, aku ngambek. Enggak usah cari aku, pulang aja sendiri." Balas Dea menggerutu sembari berbalik, dan berjalan dengan menghentakkan kakinya.

Jemin yang sudah hafal tingkah Dea sih biasa saja, nanti kalau sudah dibujuk juga luluh sendiri. Dea kan tipe orang yang mudah dikukuhkan jika sedang ngambek. Tak seperti Aria yang reportnya minta ampun. Tapi kalau tak di bujuk sekarang, Dea bisa lebih merepotkan dibanding Aria. Jadi, lebih baik Jemin utamakan Dea dibanding Dearga.

"Kak Dearga, maap ya gw mau nyusul Dea dulu. Kalau enggak gue mampus sama abangnya soalnya. Maap ya." Jemin berujar begitu cepat, sebelum berlari mengejar Dea yang hampir hilang sosoknya.

Dearga sendiri bingung, memilih menunggu Jemin sambil mengobrol dengan Theo. Si pelatih basket.

"Wussup, bro. Apa kabar? Gue udah jarang liat Lo ke gereja sekarang, bang?" Sapa Dearga pada Theo.

"Baik gue, ga. Gue bukannya males ke gereja, ga. Cuma emang udah jarang ke gereja komplek. Seringnya nemenin Jihan kalau misa." Jawab Theo sembari menegak air mineralnya.

"Ohhh... Gue kira Lo murtad."

"Itu mulut belum pernah gue saring pake foto bunda Maria ya, ga?"

"Canda elah bang."

Theo hanya mendengus kasar sebagai tanggapan. Lalu matanya memicing ke arah Jemin yang kini sibuk menggeret Dea seperti anak sapi.

Ya kalau di tarik dari tangan sih sudah biasa, lha.

Tapi Jemin narik Dea dari  seragamnya. Bagian punggungnya lagi!!! Bagaimana bisa disebut tidak mirip seperti menggeret sapi????

"Lihat deh, ga."

Dearga mengikuti arah pandang Theo, menatap dua anak manusia yang terlihat masih sedikit bercekcok itu.

"Mereka emang Deket banget ya, bang?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dearga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang