Datuk (End)

849 134 54
                                    

Sepeda kumbang milik Paundra berhenti tepat di halaman kos mereka. Nanda turun pertama, mengucap terimakasih lalu berbalik badan bermaksud lebih dulu masuk ke dalam.

Namun sayang niatnya dihentikan oleh si pemilik tumpangan. Tangannya dipegang mendadak membuat kening Nanda mengerut dalam penuh pertanyaan.

"Sek, Nan. Aku mau bilang sesuatu sama kamu." Alasan Paundra.

"Soal opo?"

"Kita."

Kita? Ada hubungan apa antara mereka hingga Paundra harus menyatukan frasanya dalam satu kata menjadi kita?

"Maksudmu?"

Tampak si tampan menarik nafas lalu menghembuskannya lama sebelum menjawab mantap. "Aku tertarik sama kamu, Nan. Boleh kan kalau aku coba kenal kamu lebih jauh?"

Nanda kaget tentu saja. Bukankah mereka belum lama mengenal? Apalagi mengingat isi surat dari orang tuanya yang katanya sudah punya calon untuk sulungnya tersebut di kampung. Apa Nanda masih boleh memberikan harapan pada Paundra?

"Piye, Nan?"

"Eumm, anu, aku..."

"Walaupun kamu ndak ngijinin, tapi aku akan tetap berusaha buat dapat hati kamu, Nan. Itu tekad aku." Tegas Paundra.

Nanda makin melongo saja. Otaknya seakan bebal dalam mengartikan setiap kata yang diucap oleh sang penjaga perpustakaan tersebut.

"Terserah kamu." Jawabnya cepat lalu menarik tangannya dan pergi masuk sembari menahan rona merah pertanda malu.

Paundra? Menggelengkan kepala dan tersenyum gemas melihatnya.



....




Semenjak Paundrakarna mengutarakan niat pendekatannya secara terang-terangan, hubungan keduanya menjadi semakin lengket. Mengisi sore berdua di perpustakaan, menyusuri malam Malioboro setiap akhir pekan, bahkan antar jemput Prananda dengan sepeda kumbangnya sudah jadi rutinitas Paundra sekarang.

Terhitung tiga minggu lebih mereka berdekatan, membuat Cakra, Firman dan Bhakti yang menjadi teman satu kos mereka agaknya juga mengernyit heran.

"Nan, kamu hari ini ngelesin Pram lagi kan?" Tanya Pandu pada Nanda ketika mereka sama-sama sedang makan siang si kantin.

Yang ditanya mengangguk. Mulutnya sibuk dengan semangkuk soto ayam yang ada di hadapan.

"Mau ikut sekalian ndak? Aku mau langsung pulang soalnya." Tambah Pandu menawarkan.

Nanda mendongak. "Lho, ndak sama Cakra?" Tumben saja temannya ini tidak pacaran dulu sebelum pulang.

"Aku sama Bhakti mau ke kantor pos dulu, kirim surat buat orang rumah di kampung. Pulangnya mau mampir perpustakaan nyari buku. Pandu pasti males nek kudu ke perpus dulu." Terang Cakra.

Si manis mengangguk-anggukkan kepalanya. "Yo wis sekalian ikut wae, Ndu. Sama nanti kalo ketemu Paundra di perpus, tolong bilang ya Cak, hari ini aku ke rumah Pram dulu."

Cakra hanya memutar matanya malas. "Elleh, ndak dikasih tau juga dia pasti udah tau duluan. Dia kan apal banget sama jadwal pribadi kamu, Nan."

"Eh, bener juga." Ujar Nanda dengan kekehan canggung di akhir kalimat.




....



Setelah menunaikan kewajibannya mengajar dan berpamitan pada ibu Pramudya, Nanda langsung dikejutkan dengan kehadiran Paundra yang menunggangi sepeda kumbangnya.

"Ayo, ndang naik." Ayo, buruan naik. Ajak Paundra

Nanda tersenyum manis lalu menuruti perkataan si lelaki berkulit tan. Di tengah perjalanan, lengan Nanda bahkan sudah tak canggung mengait di pinggang Paundra meski dalam hati rasa bersalah terus membelenggu.

DATUK MARINGGIH (OHMNANON)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang