Awal

984 152 22
                                    

Yogyakarta, 1998

Prananda Dhamar Segara, atau yang akrab disapa Nanda. Pemuda manis dengan kulit seputih porselen. Berjalan masuk setelah menerima surat dari tukang pos yang baru saja mampir ke rumah kos-nya.

Lesung dalam tercetak di pipi mengiringi senyuman yang menghias bibir delima.

"Surat cinta yo, Nan?"

Nanda menoleh pada Cakra, teman satu kos-nya yang duduk menyila kaki di depan televisi tabung ukuran 14'.

"Enak aja. Dari Bapak-Ibuku ini." Jelas Nanda.

"Pantesan. Tanggal muda kok ya.." tanggap temannya yang lain, Bhakti.

Nanda tak ambil pusing. Si manis duduk di samping Cakra dan mulai membuka amplop surat kiriman orang tuanya.

Isinya hanya selembar kertas. Bukan uang? Tentu saja bukan. Orang tuanya biasa mengirim uang lewat wesel pos. Dan surat ini hanyalah jadi sarana komunikasi.

Perlahan amplop putih panjang itu dibuka. Dibacanya deretan kata tulisan tangan rapi sang Bapak.

Kudus, Februari 1998

Untuk anakku, Nanda.

Piye kabarmu le? Semoga baik-baik saja ya, seperti Bapak, Ibu dan adikmu di sini.

Maaf yo le, bulan ini Bapak mungkin akan telat mengirim uang bulananmu. Tembakau bapak terserang hama, jadi harus kami bersihkan dan tanam ulang. Makanya waktu panen Bapak juga mundur. Ra po po kan?

Oh yo, kemarin seorang lelaki datang memintamu pada Bapak dan Ibu. Tapi kami belum kasih jawaban, le. Pulanglah, bicaralah sendiri padanya.

Dan untuk uang kuliah semester depan, Bapak bingung bagaimana menjelaskannya, le. Kamu tahu kan adikmu juga akan masuk kuliah tahun depan? Apa kuliahmu sampai semester ini belum cukup untuk kamu gunakan mengajar di desa saja?

Bukannya Bapak ingin mencegah kamu meraih cita-cita, tapi keadaan Bapak dan Ibu juga tak memungkinkan, le. Dan lelaki itu bisa membantu kita.

Sekali lagi pulanglah, Bapak mohon. Bantu Bapak dan Ibu. Temuilah lelaki yang memintamu itu.

Cuma itu yang mau Bapak sampaikan. Tolong pikirkan baik-baik yo, le. Bapak, Ibu dan adikmu menunggu kabar baik dari kamu segera.

Salam dari Bapak-Ibumu

Pegangan Nanda pada kertas suratnya makin mengendur. Badannya lemas. Matanya makin buram penuh kabut dan embun.

"Kenapa, Nan?" Tanya Cakra sambil mengelus pundak sahabatnya, merasa ada yang tak beres dengan Nanda.

Yang ditanya menggeleng, menatap kosong. Bersamaan dengan itu setetes kristal jatuh dari mata beningnya.

Menarik nafas panjang. Membiarkan Cakra dan Bhakti saling tukar pandang penuh pertanyaan.

"Aku harus pulang." Suara Nanda pecah, penuh nada miris bagi yang mendengar.

Dua temannya mengernyit. "Orang tuamu ada yang sakit?" Tanya Bhakti khawatir.

Gelengan jadi jawaban. Nanda menghapus kasar lelehan hangat di pipi mulusnya.

"Terus?" Cakra kembali membuka pertanyaan.

Lagi-lagi Nanda menarik nafas panjang. Menandakan beban berat yang dipikulnya saat ini.

"Orang tuaku ndak sanggup lagi membiayaiku. Opo maneh tahun depan adikku juga masuk kuliah."

"Jadi maksudmu pulang, itu ndak akan kembali lagi?" Bhakti mendekat ke arah Nanda dan Cakra.

Nanda mengangguk lemah. Masa depannya tiba-tiba buram dihempas sehelai kertas.

"Tapi awakmu wis semester 6, Nan. Tinggal sedikit lagi buat wisuda." Nada bicara Bhakti agak meninggi tak terima.

Tangis Nanda makin tak terbendung. Ada isakan lolos melewati mulut kecilnya. Sebegini berat orang tuanya menangguhkan beban di pundak.

"Opo ora biso yen awakmu golek duit dewe ning kene?" Apa tidak bisa jika kamu mencari uang sendiri di sini?

"Maksudmu, Cak?"

"Golek gawean. Kerja sambilan gitu buat biaya kuliahmu biar ndak mbebani orang tuamu." Usul Cakra.

"Mau ndak mau aku kudu bali, Cak. Aku bakal dijodohke, bantu ekonomine Bapak Ibu." Jelas Nanda seolah menyangkal usulan Cakra.

"Macem Siti Nurbaya sama Datuk Maringgih ngono?" Kaget Cakra.

Nanda mengangguk. Benar kan? Dia juga seolah dijual oleh orang tuanya untuk membantu ekonomi keluarga. Apa bedanya dengan Siti Nurbaya?

"Dancuk!! Jaman saiki isih wae oni jodo-jodonan macem kui!!" Cakra yang punya keberanian vokal jelas tak terima.

"Sudah.. sudah.." lerai Bhakti menenangkan. "Yang penting sekarang selesaikan semester ini dulu, Nan. Urusan semester depan kita pikirin nanti. Gimana?" Usul Bhakti.

"Tapi kupikir ndak salah kamu nyari kerja sekarang. Itung-itung nabung to, Nda?" Cakra.

Nanda mengangguk. "Nanti tak pikirkan dulu." Si manis bangkit berdiri, menoleh pada kedua temannya. "Kalau Bu Yenni ke sini nagih bulanan, bilang maaf aku telat bayar bulan ini, yo. Aku tak ke kamar dulu." Pamit Nanda lemas memunguti kembali kertas dan amplopnya yang tergeletak di lantai.





Bersambung ...






Vote comment jangan lupa 🥺

Buat yg nggak paham Jawanya boleh tanya di komentar yaa ☺️

Sorry for typo and thank youn😉

DATUK MARINGGIH (OHMNANON)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang