3.

824 98 12
                                    

Deru mobil berhenti. Kendaraan mengilap itu bergeming lebih lama dari biasanya karena sepasang pemiliknya sedang berdiskusi. Lagi. Ya. Katakan saja sosok rupawan paripurna dari ujung rambut sampai jari kaki itu, masih gugup untuk bertemu banyak orang.

Namun, tak dibiarkan tutur kata lanjutan kembali terucap dari bibirnya yang penuh nan menggoda. Seokjin merasakan sapuan pelan di dagunya. Baru saja tadi hendak bicara sanggahan, kuluman lembut diterima. Pipinya panas sekarang.

"Suamimu ini yang memilihkan baju dan walau pun tidak berusaha menarik, kamu sudah sangat cantik tanpa mencoba, Hon. Percayalah. Di sini, aku yang justru tidak nyaman."

"Eh? Kenapa?"

"Kamu sempurna, Hon. Itu masalahnya. Aku tak suka mata-mata yang nanti memandangmu."

Seokjin mendengkus tawa. Dirabanya hidung bangir depan wajah, mencubitnya pelan dengan gemas, lalu menarikan ibu jari ke lesung pipi nan manis itu. "Kita sudah tersemat cincin, itu cukup. Mereka toh tidak bisa dicegah untuk tidak melihatku, kecuali aku, Namjoon."

"Kalau begitu kamu tahu seberapa gelisahnya diriku, 'kan? Kita pulang saja, ya?"

"Eh! Mana bisa begitu? Apa kata rekanmu nanti? Kalau tersinggung bagaimana?"

Jemari lentik diremas. "Aku bisa cari rekan lain."

Seokjin menarik rahang Namjoon dan balas mengecupnya. "Kau hanya perlu menggandengku dan jangan lepaskan. Menghadiri undangan ramah tamah begini, bukankah kesempatanmu untuk mendekatkan diri? Toh, setelah melihatku, para gadis-gadis nanti tidak bakal nakal padamu lagi, bukan?"

Namjoon mengecup panjang bibir Seokjin, lalu mengusap belahan bawahnya. "Tentu saja. Biarkan mereka tahu, kecantikanmu tiada dua. Baiklah. Kita turun dan lekas pulang. Aku kedinginan dan hanya ingin memelukmu sampai besok pagi." Dikecupnya pipi Seokjin sebelum keluar duluan untuk menjemput dari sisi sebelah. Mereka kemudian berjalan memasuki area makan malam ala pesta kebun dengan lampu-lampu pijar di langit terbuka.

Acara itu tidak mengundang banyak orang. Tidak sampai seratus orang malah. Soalnya, hanya kalangan dalam dan kolega yang akrab saja. Begitu Namjoon dan Seokjin tiba di tengah-tengah mereka lalu saling sapa ke empunya acara, semua benar-benar lama memandang sosok menawan yang menggelayut di lengan Namjoon sekalian mengenalkan satu persatu manusia di sekitaran ke suaminya. Menuntun jemari lentik itu agar bersalaman di arah yang benar juga namanya. Selesai basa-basi, Namjoon disilahkan duduk. Mereka bersila di atas rerumputan. Dalam baris panjang meja yang telah ditata sedemikian rupa. Guna menimbulkan rasa akrab satu sama lain. Berhubung Namjoon dan Seokjin baru datang, mereka mendapat tempat di bagian paling ujung. Memudahkan Seokjin bergerak dan Namjoon menolak halus ditempatkan di tengah. Tepat di atas meja depan Seokjin, ada pot kecil bunga kering yang mengeluarkan aroma semerbak campuran mawar dan lavender yang begitu halus menyentuh penciuman.

Seokjin menyukainya dan Namjoon mengatakan bahwa tepat sekali warna bunga-bunga di pot itu, terdiri dari biru dan merah muda serta ungu, warna-warna kesukaan Seokjin.

"Um, Honey."

"Ya?"

"Ada menara makaron di sana. Kamu mau?" Seokjin seketika merekahkan senyum antusias sembari mengangguk, Namjoon meremas jemarinya. "Baiklah. Tunggu sebentar, akan kuambilkan untukmu."

"Um, tunggu. Namjoon, seseorang yang wangi Bvlgari tadi, apakah dia atasanmu?"

"Yep. Kamu tidak pusing, 'kan?" Dia tahu suaminya tidak suka wangi keras merek tadi.

Seokjin menggeleng. "Suaranya mirip ombak pantai. Menghanyutkan pasir putih yang awam sepertiku." Namjoon terkekeh.

"Usaha bagus, Hon. Pemilihan kalimatmu sepertinya akan kujadikan lirik lagu untuk proyek selanjutnya. Menarik sekali."

Honne | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang