Malam yang semakin larut rupanya tak membuat dua orang itu mengantuk. Dua gelas minuman hangat, cammomile tea pun tak segera membuat keduanya beranjak tidur. Sunyi senyap tak ada suara, hanya ada dentingan suara jam dinding yang sedari tadi ramai memenuhi indera pendengaran mereka berdua.
Si wanita menoleh. Raut wajahnya kacau. Mata dan hidungnya memerah. Urat di dahinya pun terlihat mengerut samar. Emosi yang seharusnya menguar, tertahan oleh kerutan itu.
"Kamu serius, mas Ray? Maksud aku, papa baru saja meninggal. Bisakah kamu menunggu satu tahun lagi?" pintanya memelas. Pria di sampingnya adalah Rayyan, suami yang baru dinikahi olehnya satu tahun yang lalu tepat di hari ulang tahun sang papa.
Keduanya menikah atas dasar perjodohan bisnis antara dua perusahaan, tanpa cinta sama sekali. Satu bulan berjalan sejak pernikahan itu terjadi, Lily sang istri jatuh cinta pada suaminya. Namun, seperti pungguk merindukan bulan cintanya pada sang suami tak mendapatkan respon dan berakhir bertepuk sebelah tangan.
"Aku serius. Nayya sudah menungguku lebih dari satu tahun, Lily. Haruskah aku menggantungnya lagi? Ingat, sebelum pernikahan itu terjadi bukankah sudah aku katakan kalau kamu jangan jatuh cinta padaku," pekiknya. Lily terdiam dan menunduk. Ia sadar bahwa cintanya pada sang suami tak mungkin bisa bersatu.
"Baiklah. Aku akan menandatangani surat perceraian itu," ucapnya lemas.
Tangan mungil Lily segera menyambar berkas di atas meja yang teronggok lebih dari lima jam. Ia membuka perlahan dan membacanya satu persatu. Di lembar pertama ia belum merasakan apapun, sampai lembar terakhir tak terasa ia meneteskan satu dua butir airmata yang akhirnya ikut menangisi lembaran berkas itu.
"Dalam perceraian ini, aku tak mau banyak percekcokan. Semua harta gono-gini sudah aku atur. Rumah ini, mobil dan usaha butik yang sedang kamu rintis aku berikan semuanya tanpa terkecuali dengan satu syarat." Lily menoleh, wajah Rayhan berada tepat di hadapannya. Ini membuatnya gugup.
"A-apa?"
"Jangan pernah hubungi aku lagi. Apapun masalah yang sedang kamu hadapi, karena aku akan memulai hidupku dengan Nayya setelah ini. Paham?" Lily mengangguk. "Cepat tanda tangan dan mulai besok status kita bukan lagi suami istri. Kita hanya partner."
Lily segera membubuhkan tanda tangannya tepat pada kolom nama yang tertera di lembaran itu. Jantungnya berdenyut pelan, namun terasa menyakitkan. Saat dirinya masih berduka atas kehilangan papa yang selama ini mendukungnya, ia justru harus kehilangan lagi statusnya sebagai seorang istri.
Malam ini, keduanya berpisah kamar. Lily tetap menempati kamar utama yang menjadi kamar mereka berdua selama satu tahun terakhir. Sedangkan Rayyan memilih tidur di kamar tamu. Keduanya sama berbaring di ranjang masing-masing dengan pemikiran yang berbeda.
Lily dengan kesedihannya, Rayyan dengan rasa bahagianya. Beban yang ia bawa satu tahun ke belakang akhirnya sirna. Ia bisa menikahi wanita pujaannya tanpa harus meminta restu pada siapapun.
Lily mengusap perut datarnya, sambil membayangkan sesuatu esok pagi. Bayangan papa dan masa depan yang tak tentu arah membuatnya risau.
"Izinkan mama bawa kamu pergi, nak. Pergi tanpa seorang pun tahu dimana kita tinggal,"gumamnya sendiri. Disana, di perut datar itu ada satu kehidupan yang harus Lily jaga. Ia mengetahuinya satu Minggu sebelum kecelakaan yang merenggut nyawa papanya terjadi. Hari ini, ia berencana memberitahu Rayyan namun semuanya sirna saat sang suami dengan teganya memberi surat perceraian dan rencana pernikahannya dengan mantan kekasihnya dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Seasons Of The Marriage
RomanceLily menyerah mendapatkan cinta Rayyan yang ternyata memang bukan untuknya. Jika saja saat itu ia menolak perjodohan yang ditawarkan oleh ayahnya, tentu saja hidupnya tak akan sehancur saat ini. Rayyan memilih kekasihnya dan menceraikan dirinya disa...