Dua Belas

539 106 19
                                    

Pura Agung Besakih

1930


Jeongguk

Dari sekian banyak kejadian yang menimpa, mungkin ini jadi yang paling berat. Belum pernah seumur hidupnya Jeongguk diperlakukan bak orang asing yang lupa dimana ia berpijak. Bahkan di tanah yang sudah melahirkannya, membesarkannya sampai menjadi satu naga yang utuh. Bali bukan lagi rumah yang ia idam-idamkan untuk pulang. Terlalu riskan. Keberadaan Jeongguk dijaga ketat oleh beberapa tentara Belanda yang ditugaskan untuk mengawal kepulangannya di Bumi Nusantara.

Dari ceruk mata, berderet orang berseragam kehijauan. Lusuh seperti tidak pernah tersentuh tangan-tangan ahli penggosok noda. Satu senjata api melingkar di sekitaran dada. Kalau pun Jeongguk bisa lumpuhkan setiap orang yang ada dan mengamuk, ia bakal menahan malu seumur hidup. Tujuannya kembali bukan untuk membikin onar. Semata-mata ia rindukan segar tirta dari Pura Agung yang sudah lama ia tinggalkan. Tidak sengaja, tentu saja. Lebih tepatnya mungkin, dipaksa untuk pergi. Diusir sekaligus diseret. Dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi Klungkung yang tersisa. Untuk ini, Jeongguk berhutang banyak pada keluarga Rose yang mampu menyembunyikan keberadaannya dan menghalau beberapa orang bertanya mengapa Jeongguk tidak kunjung menua.

"Basuki." Wanita yang baru saja melintas di jalur pikiran, menepuk pundaknya. Menyentuhnya perlahan seolah menenangkan. "They won't hurt you," tambahnya, "I promise."

Jeongguk enggan menanggapi. Dari segala aspek, kalimat Rosie adalah sebuah kontradiksi akan keadaan yang sedang terjadi. Nyawanya kali ini tidak lagi berharga. Satu-satunya yang bisa mempertahankannya untuk bisa bersimpuh, sembahyang, dan meminta restu adalah keinginan Jeongguk sendiri.

"I'm so sorry, Jeongguk." Tubuh mungil itu bersandar di pundak kiri. Membeban bukan sekadar fisik. Tapi juga batin. Rose tidak pernah bersalah atas apa yang menimpanya. Tidak secuilpun. Jeongguk benci mengakui kalau ia beberapa kali juga menaruh curiga pada perempuan berbalut kebaya putih ini. Meragukannya di beberapa kejadian dan mengerucut ke titik dimana ia menyaksikan sendiri Rose merintih. Perempuan itu bersimpuh di hadapan dan memohon ampun atas apa yang sudah Bangsanya lakukan, segala apa yang tidak akan pernah bisa dikontrolnya. "I'm sorry," bisik Rose kembali. Kali ini, Jeongguk tangkup pundak sempit yang bergetar hebat itu. Perlahan-lahan dan merengkuhnya seolah berkata bahwa ia tidak pernah menaruh dendam pada Rose. Jeongguk mempercayai apa yang sudah dikorbankan oleh gadis ini.

"It's not your fault. You don't have to be the one who says sorry to me." Dikecupnya puncak kepala perempuan yang tengah menahan tangis di peluknya. Bisa Jeongguk rasai pula kalau keduanya ada di kubangan yang sama. Tidak bisa lari kemana-mana. Inilah titik dimana semuanya berbalik. Jeongguk bertekad duduk kembali di Bali dan mendapatkan apa yang sudah Belanda renggut darinya, kejayaan Klungkung.


Gianyar

2019

SETELAN kemeja safari, kamen bercorak batik, dan satu udeng yang melingkar di kepala ternyata cocok melekat pada sosok Jimin yang masih kikuk. Manik matanya berpendar kesana-kemari layaknya kelereng yang menolak masuk lubang. Kedua tangannya mencengkeram erat ujug kemeja yang kalau dilihat, pas-pas saja. Jeongguk menyerah mencari kemeja kecil di dalam lemari. Berakhirlah Sana meminjamkan satu stel dari Beomgyu. Dari surainya yang hitam legam sampai ke ujung sandal kulit yang dikenakannya, semuanya sempurna. Pemuda ini adalah perpaduan sempurna antara manisnya gula, gurihnya bumbu rajang, dan sedapnya sebuah hidangan siap makan. Bedanya Jeongguk masih tidak tertarik buat makan daging manusia.

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang