03. Bicara dengan iblis

248 53 8
                                    

Malam yang panjang bagi Jaechan yang pertama kali datang berkunjung, warga desa yang datang tidak membiarkan dirinya untuk beristirahat, semuanya heboh dengan kedatangan cucu tabib yang datang dari kota dan tidak membiarkan Jaechan untuk tidur, mereka memberikan hadiah berupa makanan siap saji dan umbi-umbian, serta hasil dari pertanian untuk diberikan pada Jaechan.

Beruntung Seungyoun yang selalu disampingnya dapat membuat kerumunan itu tidak terlalu berdesakan, dan pada tengah malam ia bisa tidur dengan tenang di atas pangkuan neneknya.

Neneknya bersenandung dibawah pelita kecil yang menyala, Jaechan hampir tertidur, matanya berkedip pelan sembari surainnya di elus perlahan.

Hingga di ujung kesadaran, Jaechan mendengar neneknya berucap layaknya mantra alih-alih permohonan.

"Shasta, jagalah dia selayaknya orang terkasih mu"

🐦🐦🐦

Jaechan merasa gelisah, sekujur tubuhnya serasa diterpa angin sepoi. Dahinya mengkerut dan ia mencoba untuk menggapai selimut yang mungkin saja sudah berada dibawah kasur layaknya dirumah. Namun hingga sudah berusaha sekalipun tangannya mencari keberadaan, ia tak kunjung mendapatkan nya. Karena terus merasa dingin ia akhirnya menyahut.

"Ibu, sudah berapa kali kubilang. Setelah membuka pintu tutuplah kem-" Jaechan membulatkan matanya, ia terkejut saat netranya melihat sekitar. Ini bukan dirumah dan yang ia tiduri bukanlah kasur yang empuk. Tapi ditengah rerumputan dibawah pohon hijau yang rindang. Hanya ada cahaya bulan yang terang memenuhi gelap.

Jaechan segera berdiri, ia ingat kembali bahwa ia seharusnya berada tidur di atas pangkuan neneknya, raganya mulai merasa takut. "Nenek! Seungyoun!"

Ia berteriak, mencari ujung dari pepohonan yang rindang ini namun bahkan hingga berlari dan kehabisan nafas sekalipun sama sekali tidak ada tanda-tanda ujung dari hutan tersebut.

Nafasnya mulai terengah dan raganya terkulai lemas, bersandar pada pohon yang tampak berumur tua. Jaechan berdiam disana untuk mengatur nafasnya, senetral mungkin karena ia memiliki Asma yang berat. Layaknya ikan yang terdampar di darat. Ia berusaha untuk bernafas.

Hingga angin yang kencang menerjang dirinya, anehnya ia tidak ikut mundur bersama angin. Hanya rambut dan pakaian nya yang berkibar.

Jaechan mengerutkan dahi, namun seiring angin itu memudar, nafasnya ikut membaik. Ia bersandar dengan paru-paru yang berjalan kembali normal, entah Jaechan harus berterimakasih atau merasa takut sekarang.

"Cahaya, tenang dan tidak tersentuh"

Jaechan mendongak "Siapa disana?" Ia memojokkan punggung pada batang pohon tua, melihat sekeliling saat mendengar suara yang begitu berat mengalun.

Suara itu tertawa "Jiwa murni yang sempurna, tidak pernah ada yang sebersih dirimu. Baik luar maupun dalam"

Jaechan masih merasa waspada walau hal seperti ini di luar nalar baginya yang berpikir maju. Ia masih mencari keberadaan suara tersebut. "Siapa kau?"

"Shasta. Penjaga, kegelapan dan rasa penasaran"

Sekujur tubuh Jaechan menegang, ia teringat perkataan Yoo jin begitupula kata terakhir dari nyanyian pengantar tidur neneknya.


"Kau nyata? Kupikir hanya dongeng belaka" Jaechan mencoba menantang, walau ketakutan dirinya berada di ujung tanduk.

Suara itu sekali lagi tertawa "Begitu naif, ketakutan mu tercium begitu menyengat namun masih berani bertanya"

SHASTA (SuamChan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang