ma.ni.pu.la.si: 16

27 5 8
                                    

⭐Now playing: Allah Bersamamu - Nasyid Gontor (sangat direkomendasikan)⭐

Hingga rapat rutin mingguan pada Jumat itu ditutup oleh Nazifa selaku sekretaris, tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir Zafi. Seluruh anggota Rohis telah bubar, kembali pada kesibukannya masing-masing, entah itu pulang, memesan ojek online, atau jajan dulu di gerbang depan. Rapat tambahan bagi staf inti pun tidak diadakan kali ini, tidak ada yang hendak dibahas.

Di tengah perjalanannya menuju kawasan pesantren untuk kembali ke kobong, susah payah, Zifa menyamakan diri dengan langkah kaki Zafira yang cepat-cepat. Meski di sekitarnya terdapat begitu banyak keramaian anak mes yang hilir-mudik untuk mandi, mempersiapkan setoran hafalan, maupun sekadar bercengkerama ria, tetapi bersisian dengan Zafi membuat Zifa merasa bahwa hanya ada kesunyian yang bising di sini.

Tidak perlu mengamati setiap garis wajah Zafi untuk tahu bahwa anak perempuan itu sedang marah dalam diam. Dari kejauhan sekalipun, aura tidak mengenakkan sudah menguar begitu besar dari figur seorang Zafira. Sejak awal, Zafira memang selalu memasang tampang dingin dan jutek, tetapi tidak pernah tampak segusar ini.

Demi meningkahi atmosfer kelam yang ada, Nazifa berdeham singkat. "Uhm ... Zaf, kenapa Haitsam bisa segila itu, ya?"

Sepertinya, topik yang dipilih Nazifa itu keliru sekali. Zafira tampak tak berminat untuk sekadar menanggapi. Dirinya hanya berjalan lurus-lurus untuk membuka gerbang besi pembatas kawasan umum dekat Kantin Om Juy dengan koridor antar-kobong putri. Begitu membuka pintu Kobong Madinah, seisi ruangan hanya diisi sunyi. Rosi dan Yasna tidak ada, mungkin sedang membeli makanan di depan. Padahal baru dua jam lalu mereka makan siang.

Sehabis menyimpan ransel ke dalam lemari sepinggang miliknya, Zafira duduk memeluk lutut di lantai. Tatapan Zafi terus memaku kakinya sendiri yang masih terbalut kaus kaki putih. Nazifa bisa menangkap keresahan dalam manik hitam legam yang biasanya menyorotkan ketegasan itu.

Semua gerak-gerik Zafi diawasi penuh oleh Nazifa yang menggigit bibir khawatir. Di saat seperti ini, Zafira tidak akan senang direcoki dengan berbagai pertanyaan. Satu-satunya yang bisa Zifa lakukan hanyalah duduk di sisinya, menemani saudara kembarnya yang terlahir sepuluh menit lebih cepat dari Nazifa, lantas menunggu Zafi untuk berbicara lebih dulu.

Masih dengan ransel di pundak, Nazifa ikut duduk memeluk lutut di samping kakak kembarnya. Suasana senyap di Kobong Madinah kala itu membuat Zafi-Zifa makin tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Tiada kata, tidak ada bahasa. Mereka berdialog dalam hening.

Hingga lima menit lamanya, barulah Zafira angkat suara untuk pertama kali dalam rentang waktu sejak pulang sekolah sampai berakhirnya rapat mingguan. "Ustadzah Qonita itu udah kayak orang tua kita di sekolah. Aku ... jadi keinget Ummi-Abi di rumah."

Demi mendengar topik sensitif itu, Zifa langsung menoleh pada Zafira. Ummi-Abi, ya ....

"Kamu masih ingat, enggak, janji kita sebelum datang untuk ikut program pesantren di Ruwada?" Suatu hal yang langka, bahkan di hadapan Nazifa, saudara kembarnya sendiri, netra hitam legam itu menyorotkan sedu sendu, memuat manik-manik kaca yang langsung pecah ketika Zafira berkedip. "Kita akan selalu menggenggam erat prinsip-prinsip yang sudah Ummi-Abi tanamkan selama ini."

Benar. Sebelum keberangkatan mereka, masih terekam jelas dalam memori Nazifa, keduanya memeluk Ummi-Abi di tengah malam yang senyap itu. Di bawah naungan angkasa gelap bertabur titik-titik kerlip gemintang, Ummi-Abi mengelus puncak jilbab kedua putrinya yang akan merentang dekapan mereka untuk berjuang menelusuri ilmu-ilmu Allah di luar sana.

"Zafi, Zifa ... selama kalian jauh dari Ummi-Abi, jangan pernah khawatirkan keadaan kami. Kami baik-baik saja. Selain itu, jangan pernah lupa bersyukur untuk segalanya. Setiap kali kalian makan di sana, tersenyumlah, Ummi ikut kenyang di sini." Ummi tersenyum begitu tulus selagi memandangi kerlip bintang di kejauhan. "Nak ... kita akan mengulur jarak. Karenanya, jadikanlah bait-bait doa sebagai titik temu kita semua. Jangan pernah berhenti berdoa, ya, Nak?"

Manipulasi [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang