"Ayolah, Lin ... sekali-sekali ikut kita," rayu Lisa pada sahabatnya itu, ia menggoyang-gotangkan lengan ramping Alin. Namun, gadis imut berambut panjang itu seakan tidak pedulu, ia tetap berkutat dengan buku yang dibacanya.
"Iya, Lin. Gak ada salahnya ikut kita, daripada elo cuma bengong gak jelas di rumah," ucap Cici, sahabat Alin dan Lisa.
"Banyakan bengong entar elo dipatok ayam, lho. Mending ikut kita, siapa tahu entar bisa dipatok cowok ganteng, kan?" ucap Lisa yang masih berusaha merayu Alin.
"Ogah, kalian aja sana!" sahut Alin cuek sambil tetap berkonsentrasi pada bukunya.
"Ish, kenapa sih gak mau? Jalan sama sahabat sendiri aja gak mau, udah gak mau. Sahabat macam apa itu!" protes Lisa yang disambut anggukkan kepala oleh Cici.
Alin yang mulai jengah dengan rengekan kedua sahabatnya, meletakkan buku yang ia baca di atas meja. Ia memandang pada kedua sahabatnya itu.
"Apa selama ini gue selalu nolak kalau kalian ajak jalan?" tanya Alin pada kedua sahabatnya itu, Lisa dan Cici menggeleng sebagai jawabannya.
"Selama ini kalau kalian butuh gue, gue selalu ada, gak?" tanya Alin lagi, dan keduanya pun mengangguk.
"Dan kali ini, kalian tahu alasannya kan kenapa gue gak mau ikut?"
Lagi-lagi, Lisa dan Cici hanya bisa mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Alin.
"Nah, pinter ... berarti gak ada yang perlu dibahas lagi." Setelah mengatakan hal itu, Alin kembali berkutat dengan bukunya. Membuat wajah kedua sahabatnya memberengut kesal.
"Aelah, Lin ... elo diajak ke salon aja kayak mau diajak tawuran, susah bener," protes Lisa.
"Ayo, kalau diajak tawuran ... gue malah semangat nih," sahut Alin cepat sambil menggulung lengan bajunya dengan penuh semangat.
"Elo, sih," ucap Cici sambil memukul lengan Lisa. "Udah tahu kalau sahabat lo yang satu itu paling demen sama begituan, malah dipancing-pancing."
"Hehe, maaf ...," sahut Lisa sambil terkekeh.
"Ayolah, Lin ...," ucap Lisa lagi, "kita seru-seruan bareng."
"Apanya sih yang seru? Bosen tau gak, berjam-jam nungguin kalian di sana. Yang muka dipencet-pencet lah, rambut digiles sama papan, kuku digesek-gesek ... seru dari mananya coba!"
"Lagian siapa yang nyuruh elo cuma nungguin kita," ucap Cici, "Elo kan juga bisa ikut perawatan juga, Alin."
"Ogah," sahut Alin secepat kilat, membuat Lisa dan Cici menghembuskan napas kesal, merasa putus asa. "Ya udah, gue ikut kalian."
Ucapan Alin membuat Lisa dan Cici langsung tersenyum senang.
"Tapi gue gak ikut masuk salon ya, gue di toko buku sebelahnya aja." Perkataan Alin berikutnya membuat senyum Lisa dan Cici kembali memudar.
"Lin, gue heran deh sama elo. Badan mungil, wajah imut, rambut panjang ... bentukan elo begini tuh cocoknya jadi cewek feminim, yang doyan ke salon ... bukannya yang selalu nongol setiap ada kerusuhan," protes Lisa panjang kali lebar.
"Banyak protes lagi, gue gak jadi ikut nih," ancam Alin yang membuat Lisa dan Cici langsung angkat suara.
"Gak ... gak protes lagi deh. Mau ke toko buku, toko baju, toko kembang sampai toko togel yang ada di pojokan gak apa-apa deh, yang penting elo ikut sama kita," ucap Cici yang mendapat dukungan anggukkan kepala dari Lisa.
Alin mengacungkan jempolnya sambil tersenyum puas. Tidak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki seseorang masuk ke ruang kelas mereka.
"Bu Darsih datang!" seru Matew ketua kelas Alin dan kawan-kawan. Sebelum jam masuk kelas, Matew memang selalu berada di halaman kelas. Yang dia lakukan adalah memperhatikan pohon melati yang ada di sana. Entah apa alasannya ...hanya Matew yang tahu.
"Ini udah jam tujuh, Mamat. Emang udah waktunya buat masuk kelas kita, napa elo heboh sendiri," protes Lisa.
"Astaghfirullah, Lisa ...," ucap Matew sambil mengusap dadanya. " Nama gue Matew, napa keluar dari mulut lo mesti jadi Mamat, sih?"
"Ish, yang penting ada Mat-mat nya, kan? Gak usah banyak protes, deh," sahut Lisa enteng.
"Gimana gak protes coba, nama bagus-bagus dari emak bapa gue, elo ganti-ganti," sahut Matew masih tidak terima. Matew masih memperhatikan Lisa yang melotot padanya. "Iya, ngalah gue mah. Lis ... belis." Matew berujar pasrah akhirnya, percuma melawan mulutnya Lisa yang macam petasan kalau udah nyerocos.
"Eh, ngedumel apa elo tadi?" tanya Lisa sambil memicingkan matanya. "Kuping gue kayak ngedenger belis-belis gitu."
"Salah denger kuping lo, Lis...," sahut Matew, "belum sarapan kan? Makanya kalau pagi itu sarapan, Lis. Biar gak sering salah denger."
"Mulut!" Lisa menepuk pelan mulut Matew. "Apa juga korelasi gak sarapan sama kuping."
Setelah mengatakan hal itu, Lisa ngeloyor kembali ke tempat duduknya. Menyisakan Matew yang mengusap mulutnya sambil komat-kamit.
"Gue ketua kelas lho ini, kayak gak ada harga dirinya sama sekali,' dumel Matew kesal sambil duduk di kursinya.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu darsih, selaku guru Bahasa indonesia merangkap wali kelas mereka.
"Selamat pagi, Bu Darsih," sahut seisi kelas serempak.
"Pagi ini, ibu memperkenalkan seorang siswa baru yang akan bergabung dengan kelas 12 IPS ini. Nak, silahkan perkenalkan diri kamu." Bu Darsih berkata pada pemuda berkacamata yang berada di sebelahnya itu, dan sang pemuda menjawabnya dengan anggukkan kepala.
"Perkenalkan, nama saya Gilang Ananda. Panggil aja Gilang," ucap pemuda berkacamata dengan potongan rambut belah tengah itu.
"Hai, Gilang!" seru semua teman-temannya serempak, persis seperti paduan suara, membuatnya sedikit terkekeh.
"Gilang, kamu duduk di sebelah Matew, ya. Matew angkat tanganmu!" seru Bu Darsih yang membuat Matew langsung mengangkat tangannya dengan semangat empat puluh lima.
"Gak usah tinggi-tinggi juga angkat tangannya, ketek elo bau kaos kaki," ucap Lisa yang duduknya di depan Matew.
Gadis itu menutup hidung dengan jarinya yang lentik. Alin yang duduk di sebelah Lisa pun ikut terkekeh, membuat Matew tambah kesal.
"Hidung lo yang kegedean, jadi terlalu sensitif," elak Matew.
"Hidung gue emang mancung, terimakasih," sahut Lisa sambil menoel hidung bangirnya dengan bangga.
Matew mangap-mangap, hendak membuka suaranya kembali. Namun, dia urungkan niatnya itu karena kalau diladeni gak akan ada habisnya.
"Duduk sini brow, gak usah sungkan-sungkan. Anggap rumah sendiri," ucap Matew pada Gilang yang sudah berdiri di sebelahnya.
Gilang pun langsung mengambil tempat di sebelah Matew dan mendudukkan bokongnya.
"Anggap rumah sendiri kan prinsip situ kalau lagi bertamu," sahut Lisa kembali. "Bertamu, nyaman, anggap rumah sendiri, minta makan, ogah bersih-bersih. terus kalau tuan rumah lengah sedikit, langsung dijual tuh rumah."
Matew hanya melirik sekilas pada Lisa, enggan menanggapi.
"Gak usah dengerin, anggap aja kalau kamu sedang dengar bisikan gaib. gak usah ditanggepin nanti musrik," bisik Matew pada Gilang.
Gilang menganggukkan kepala sambil terkekeh. Ia paham, ia maklum ... Ia mengenal Lisa sedari gadis itu masih dalam kandungan Almarhumah ibunya.
Iya, ia mengenal Lisa, sangat mengenalnya ... karena pemuda berkacamata dan berpakaian kedodoran itu adalah sang kakak. Pirata Raynar Ulung yang berpenampilan culun untuk melindungi sang adik dari musuh-musuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Brutals
RomancePirata Raynar Ulung adalah seorang pria yang berwatak keras. Apapun yang menjadi keinginannya, akan berusaha ia dapatkan ... walau sesulit apapun itu. Hidup keras dan penuh perjuangan yang ia alami sedari kecil, membuatnya tumbuh menjadi pria yang...