Karin menghela napas panjang. Gadis berambut hitam sebahu itu sesekali melirik arlojinya sambil berdecak sebal. Sudah lima belas menit berlalu semenjak bel pulang sekolah berbunyi, dan ia masih duduk termangu di pinggir koridor. Lapangan sekolah sudah mulai lenggang, hanya segelintir siswa yang masih berlalu-lalang di lapangan. Manik mata Karin menyorot lamat kelas 12 IPA 5 yang tepat berada di seberangnya, menanti sosok Raka Lokeswara— pria yang merupakan sahabatnya sejak taman kanak-kanak— muncul di ambang pintu kelas.“Lo belum mau pulang, Rin?”
Suara yang sudah sangat gadis ini kenal memecah keheningan yang tercipta. Karin menggeleng kecil, tatapannya masih belum beralih.
“Mau gue tunggu, enggak?”
Karin kini menoleh. Ia mendapati gadis seumurnya dengan rambut panjang bergelombang berdiri tepat di belakangnya sembari menenteng totebag. Mayang Sasmita, seperti yang tertulis di tanda pengenal gadis itu, merupakan sepupu sekaligus sahabat Karin.
“Kamu duluan aja, Ya. Aku masih ada kerjaan lain.”
“Kerjaan apa, sih?” tanya Mayang lalu duduk di samping Karin. “Pulang aja. Setelahnya kita nongki, gue traktir.”
“Aku ada rapat, Yaya. Kamu tahu ‘kan proyek akhir OSIS itu satu minggu lagi.”
“Rapat atau rapat, nih?” ujar Mayang, atau yang lebih akrab disapa Yaya, sembari menaik-turunkan alisnya.
Karin mengerutkan dahinya. “Apa sih, Ya?”
Yaya memainkan telunjuknya sebelum akhirnya menunjuk kelas yang ada di seberangnya. “Beneran rapat atau nungguin pangeran lo ke luar kelas?”
Karin mendelik. Tangannya bergerak menurunkan telunjuk Yaya. “Aku ‘kan nanti perginya sama Raka, walau bentuknya begitu, dia itu wakil ketua OSIS. Makanya aku nungguin dia. Lagipula, pangeran apanya? Pangeran kodok sih iya.”
Tawa Yaya meledak. “Jahat banget! Masa temen lo dari kecil disamain dengan pangeran kodok?”
Karin mengerling malas. Raka dan dirinya memang berteman sejak kecil. Mereka begitu dekat. Ibunda Raka bahkan sudah menganggapnya sebagai putrinya. Rumah Raka hanya berjarak lima kaki dari rumahnya. Dulu, Karin sering sekali bermain ke rumah Raka kalau ia bosan di rumah sendirian. Karin juga ingat bahwa mereka sering belajar bersama, kalau yang satu ini, masih sering mereka lakukan sampai sekarang. Dari dulu, Raka dan Karin juga sering memperebutkan juara kelas. Walau kini sedikit berbeda, yang mereka perebutkan bukan juara kelas, melainkan juara umum.
“Lo tahu enggak sih, Rin? Biasanya, persahabatan antar lawan jenis itu nggak murni. Ada perasaan ‘lebih dari teman’ di dalamnya. Alias, pasti ada rasa cinta yang tumbuh di antara mereka,” kata Yaya melanjutkan. Ia kemudian menatap Karin dan kelas Raka bergantian. “Kalian juga pasti begitu.”
“Dari mana kau tahu itu?”
“Dari FTV.”
Karin menghela napas pelan. “Aku sudah bilang puluhan kali, ‘kan? Berhentilah menonton drama cinta remaja terlalu sering. Mereka hanya menyajikan kisah cinta yang palsu.”
“Heh! Kebanyakan drama itu diadaptasi dari kisah nyata, tahu! Dengar, ya, Karin. Riset menunjukkan bahwa 99,9999999999% orang yang menjalani persahabatan antar lawan jenis jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri.”
“Kalau begitu, aku dan Raka adalah 0,0000000001%-nya.”
“Mana bisa gi—”
“Karin? Yaya?”
Yaya dan Karin sontak menoleh, mendapati sosok pria dengan tubuh menjulang tinggi berdiri di hadapan mereka.
“Maaf udah buat kamu nunggu lama, Rin. Mood Pak Aris lagi nggak bagus, beliau ngadain ulangan Fisika dadakan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Spotlight
Teen Fiction"Aku tidak pernah menjadi karakter utama, bahkan di ceritaku sendiri." Karin menghela napas pelan, lalu mendongak menatap langit. "Mungkin itu memang takdir yang tertulis untukku." "Kalau begitu, apa lo mau mengubah takdir dan menjadi karakter utama...