Jari-jari Karin sibuk menari-nari di atas papan ketik. Sorot matanya fokus menatap monitor di hadapannya. Ia kemudian sibuk memainkan tetikusnya, menggulir layarnya ke atas dan ke bawah berulang kali sebelum akhirnya menekan tombol yang bertuliskan submit. Karin menghela napas panjang. Ia akhirnya mengirimkan semua berkas dan aplikasinya untuk mendaftar beasiswa. Setelah berkutat dengan semua persiapan panjang semenjak ia naik ke kelas dua belas, Karin akhirnya dapat menyelesaikan satu tahap.
Baru saja Karin ingin beranjak dari duduknya dan pergi menyiapkan makan malam, seseorang menekan bel rumahnya dengan brutal. Bel rumahnya ditekan berkali-kali seolah ada suatu hal yang sangat penting. Karin berdecak sebal. Gadis itu pergi menuju pintu dengan terburu-buru. Manik matanya menelisik celah yang ada untuk melihat siapa orang yang mengusik malamnya yang tenang.
“Ini Yaya, Kariiiiiiiiiin!”
Karin mendengus saat suara melengking yang sudah sangat ia kenal itu terdengar. “Silakan mas—”
“Kenapa buka pintunya lama banget?” ujar gadis itu sembari masuk ke dalam rumah tepat setelah Karin membukakan pintu.
Karin melipat tangannya di depan dada. “Yang lebih penting adalah, kenapa kau datang kemari dan membunyikan bel bak orang kesetanan?”
Yaya menyengir. “Gue kesepian di rumah. Ayah dan ibu masih di luar kota. Temen gue sibuk dengan urusan masing-masing.”
“Lantas apa yang membuatmu berpikir kalau aku nggak sibuk dengan urusanku?” Karin berkacak pinggang. Sejak Yaya tinggal di dekat rumahnya, gadis itu jadi sering berkunjung ke rumahnya secara random, tanpa tujuan dan maksud yang jelas. Sebenarnya, jarak antara rumahnya dan Yaya tidak seperti rumahnya dan Raka yang bersebelahan. Akan tetapi, jarak itu cukup dekat untuk membuat Yaya bisa datang ke rumahnya kapan pun, sesuka hatinya.
“Apa kau sudah makan?” tanya Karin sembari melangkah ke dapur.
Yaya menggeleng. “Belum. Gue sengaja nggak makan biar bisa makan masakan lo. Sweet banget, kan?”
“Terserah. Ayo makan.”
Yaya mengekori Karin menuju dapur sembari melihat ke sekelilingnya. Ia merasa rumah Karin lebih terasa mencekam saat malam hari. Sepi dan sunyi menyelimuti kediaman Karin. Rumah ini memang tak sebesar rumahnya, tetapi tetap saja akan terasa sepi jika hanya ada satu orang yang menempatinya. Ia tidak dapat membayangkan betapa sepinya hari-hari Karin. Yaya bertaruh ia tidak akan tahan tinggal di rumah Karin sendirian walau hanya untuk satu malam.
“Karin, lo beneran nggak mau tinggal di rumah gue lagi aja?” tawar Yaya. Karin memang pernah tinggal di rumah Yaya, tetapi hanya dalam waktu beberapa bulan. Saat itu, keadaan keluarga Karin sedang benar-benar berantakan sehingga Karin memutuskan untuk pergi ke rumah Yaya. Namun, setelah semuanya sudah mereda, Karin memilih untuk pulang ke rumahnya, meskipun artinya ia harus tinggal sendirian tanpa keluarganya. Yaya sudah membujuknya berkali-kali untuk tinggal bersama dengannya saja. Namun, gadis itu tetap teguh pada pendiriannya. Padahal kalau Karin tinggal bersamanya, Karin tidak perlu repot-repot masak sendiri. Ia bahkan tidak perlu melakukan apapun.
“Sudah berapa kali kamu menawarkan hal yang sama, Ya?” Karin terkekeh kecil. “Aku nggak apa-apa, kok. Aku nggak merasa sepi. Aku sudah terbiasa. Toh, pada akhirnya semua orang akan pergi dan kita akan hidup sendiri, bukan?”
“But we only live once, Karin. Don’t you wanna have fun?”
“I have died from that incident. You know that well, Mayang.”
Yaya tertegun. Ia mengutuki dirinya yang dengan bodohnya malah memancing memori kelam Karin yang sudah lama gadis itu lupakan. Harusnya ia tahu bahwa tak mudah bagi Karin untuk bangkit dan memulai kehidupannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spotlight
Teen Fiction"Aku tidak pernah menjadi karakter utama, bahkan di ceritaku sendiri." Karin menghela napas pelan, lalu mendongak menatap langit. "Mungkin itu memang takdir yang tertulis untukku." "Kalau begitu, apa lo mau mengubah takdir dan menjadi karakter utama...