Pernakah kau berada di kondisi saat kau merasa sangat marah, tapi kau tidak tahu kau marah pada siapa? Kau sebenarnya sangat kecewa dan sedih, tapi kau tidak tahu pasti apa yang yang menjadi penyebabnya. Kalau pernah, selamat. Setidaknya kau mengerti alasan mengapa Karin sedari tadi sibuk menyalahkan benda-benda di sekitarnya dan bukannya menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah.
Karin beranjak dari kasurnya. Ia pergi melihat pantulan dirinya di cermin besar yang ada di kamarnya. Jarinya bergerak menunjuk pantulan dirinya di cermin. “Karina Novita Sari, gadis yang tidak pernah menjadi pemeran utama, bahkan di ceritanya sendiri.”
“Karina, gadis bodoh yang bisa-bisanya suka sama temannya sendiri.”
“Tapi memang kita tak bisa memilih untuk jatuh hati pada siapa, kan? Itu sesuatu yang tiba-tiba.”
“Ya, tapi jangan sama Raka juga! Pikir aja gimana canggungnya kalian kalau kamu malah asik baper. Lagian sekarang Raka suka sama Yaya, yang notabenenya sepupu sekaligus temanmu juga, memangnya seberapa siap kamu untuk sakit hati?”
“Aku baru terpikir akan hal itu,” cicit Karin kecil. Ia menurunkan jari telunjuknya. Ia kini berhenti bermonolog karena baru tersentak akan perkataannya sendiri.
“Sebenarnya, aku menyukai gadis itu sejak ia muncul sebagai tim cheers pertama kali di pertandingan basketku.”
Karin mengacak rambutnya saat kata-kata itu tiba-tiba singgah di pikirannya. Ia akui, hatinya sedikit pedih. Sebenarnya, menyukai Raka itu sah-sah saja apabila Raka menyukainya juga dan persahabatan mereka masih tetap akan berjalan baik setelahnya. Namun, hidupnya bukanlah FTV yang sering Yaya tonton. Skenario bahwa Raka akan menyukainya karena sudah lama berteman dengannya, kemudian ia dan Raka akan membangun kisah sendiri dan menjadi pemeran utama di kisah mereka serta hidup bahagia selamanya tidak akan mungkin terjadi.
Karin menghela napasnya. Ia kembali menatap pantulan dirinya dengan tatapan tajam. “Tidak, Karin. Kamu tidak boleh lemah.”
“Ingat pada tujuan awalmu, Karin. Kau ingin melanjutkan studi ke Inggris dengan beasiswa penuh. Kau tidak boleh lengah karena perasaanmu yang kacau seperti ini. Apalagi hanya karena hal sepele,” ucap Karin dengan tegas saat suara ketukan pintu terdengar setelahnya.
“Karin, ini Raka. Apa kau sudah siap? Ayo berangkat sekarang.”
Karin tersentak. Gawat, Raka sudah datang dan ia masih berantakan. “Tunggu sebentar!”
“Aku tunggu di ruang depan, ya!” sahut Raka dari balik pintu.
Karin bergegas merapikan dirinya dan menyiapkan semua keperluan sekolahnya. Setelah ia memastikan semua peralatan elektronik sudah dicabut, barulah gadis itu keluar dari ruangan ternyaman di rumahnya. Ia melangkahi anak tangga dengan terburu-buru. Karin tidak suka membuat orang lain menunggunya terlalu lama.
“Aku sudah siap,” ucap Karin begitu sampai di ruang depan.
Raka menoleh sekilas lalu segera beranjak dari duduknya. “Semuanya sudah aman?”
Karin mengangguk. “Semua aman terkendali. Ayo berangkat.”
Karin dan Raka berangkat menuju teras. Laki-laki itu membantu Karin mengunci pintu berwarna cokelat itu serta pintu gerbang sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil miliknya. Karin hanya tinggal sendiri di rumah, hal itu yang membuat Raka selalu mencemaskan dan memperhatikan Karin. Sebelum berangkat sekolah, laki-laki ini selalu datang ke rumah Karin hanya untuk memastikan bahwa Karin sudah sarapan, peralatan elektroniknya sudah tercabut, dan Karin tidak lupa untuk mengunci pintu rumah dan gerbangnya. Raka sangat menekankan poin terakhir karena gadis itu pernah lupa melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spotlight
Teen Fiction"Aku tidak pernah menjadi karakter utama, bahkan di ceritaku sendiri." Karin menghela napas pelan, lalu mendongak menatap langit. "Mungkin itu memang takdir yang tertulis untukku." "Kalau begitu, apa lo mau mengubah takdir dan menjadi karakter utama...