Aku

38 11 0
                                    

Ini diriku, tetapi aku tak yakin dengan itu. Padahal seharusnya tidak begitu. Aku—mau tak mau—mengenalku yang sebenar-benarnya aku. Hidupku bertujuan, memiliki prinsip yang sebenarnya bisa dibilang kurang fleksibel.

Sekitar lima minggu lalu, perubahan telah membawaku untuk sedikit berpaling dari prinsip hidup yang telah kubuat dan kupegang dalam waktu hampir sepuluh tahun. Usiaku sekarang lima belas tahun. Jika dikatakan aku terlalu sok tahu untuk membahas hal ini, ya silakan saja katakan demikian. Aku tak melarang. Itu hakmu menilaiku.

Maaf jika aku terkesan hendak berkeluh kesah. Namun, kurasa memang seperti itu. Tulisan ini akan menjadi hal terindah yang bisa aku kenang tentang masa-masa aku berusaha kuat mengimbangi rasa dengan logika.

Kalau kamu menganggap ini mudah karena belum mengalaminya, setidaknya cicipi sejentik saja. Setelahnya silakan beri kesaksian pengalaman yang sejujurnya.

Mustahil rasanya menceritakan terang-terangan perihal sosok manusia yang aku sendiri sudah berjuang keras menghapusnya dari riwayat pengalaman dan pikiran. Segenap malam dan hariku selama liburan sekolah agaknya kuhabiskan untuk memikirkannya.

Ah, masih tak menyangka aku setidak waras itu. Apakah kamu pikir aku tidak sadar melakukannya? Seperti yang kubilang di awal, tentunya aku sadar sepenuhnya sadar.

Sadar yang kumaksud di sini adalah, bahwa aku melakukan itu dengan mengetahui risikonya dan beragam perhitungan juga telah dilakukan. Namun, rasa—atau mungkin setan—terkadang membuatku beranggapan bahwa inilah kebahagiaan yang kucari selama ini.

Pada kenyataannya itu salah besar. Itu sekadar jurang kesesatan berkedok kebahagiaan. Sungguh terasa seperti lelucon aku telah tersungkur bahkan hampir mati di dalamnya.

Beragam umpatan kekecewaan tak lagi mempan mengekspresikan apa yang tengah aku rasakan. Air netra sekalipun sudah tak mampu turun untuk menemani murung.

Apakah kamu pernah mempelajari bahwa kehilangan itu baik? Atau mungkin sebenarnya kehilangan itu tak ada? Menurutku yang ada hanya permainan rasa karena segala adalah milik Mahakuasa.

Seharusnya bagian ini menjadi bagian terpanjang dari bagian-bagian lainnya sebab ini tentangku dan tentu saja mestinya dengan mudah aku menuliskannya. Akan tetapi, kenyatannya tidak seperti itu.

Aku terlalu ... terlalu sedu mengisahkanku berpadu dengan remukan beledu pilu nan tentu nirbendu.

Meja Belajar, enam belas bulan lima tahun dua ribu dua puluh dua.

Logika RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang