Bagian I. Hidup dalam Mimpi Buruk

195 12 0
                                    

Pagi yang menenangkan bagi gadis yang akan menghadiri upacara wisuda gelar doktoralnya, ia akhirnya menyelesaikan masa studinya setelah kesulitan yang ia alami. Gadis pirang dengan potongan pendek, dan sisi rambut yang sedikit lebih panjang itu, akan beranjak dari ranjangnya. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya dan sedikit basah di selangkangan.

Gadis itu melirik ke sisi kirinya, pemuda dengan pirang yang sedikit tua, Aether, masih tertidur pulas. Tanpa sehelai kain dibalik selimut, sepertinya ia pingsan saat pemuda itu memperkosanya. Lumine semakin merasa terbiasa dengan pelakuan ini, hidup bersama penjahat keji ini seumur hidupnya dan menjadi pemuas hawa nafsu selama belasan tahun.

Dibukanya selimut dan perlahan berjalan menahan sakit ke arah cermin besar di kamar itu, ia melihat pantulan dirinya dengan bekas tali bondage melilit di sekujur tubuhnya. Sedikit lecet dibagian bawah payudara, perut, leher, dan selangkangannya.

Vaginanya terus berkedut dan merasakan basah saat ia melihat pantulannya di cermin. Ia hanya terdiam, membiarkan air matanya mengalir, perasaannya kacau balau, sesekali melirik ke pemuda di ranjang itu. Ia jijik pada dirinya, pada kembarannya, hidupnya sudah tidak berharga lagi.

Jam dinding menunjukkan pukul 5 pagi hari, suasana apartemen itu hening, tidak seperti di rumah utama Celestia. Sosok dibalik selimut menggeliat, dengan cepat ia menyusul si gadis yang masih teremenung dalam pikirannya menatap pantulan dirinya. Juniornya masih berdiri tegang dan terus meminta memasuki si gadisnya.

"Lumine," suara berat dan rendah itu sudah berada di telinga kanannya. Ditempelkannya badannya pada punggung gadis itu, melalui pantatnya, ia menyelipkan kemaluannya.

Gadis itu bergidik, menahan gemetar ketakutan saat ia mulai tersadar dirinya pada cermin tidak lagi sendiri. Tangan pemuda itu sudah berada pada mulut bawahnya, satunya mengunci perutnya dari belakang. Ia merasakan batang keras di antara selangkangannya.

"Aether," jawabnya lemah. Gadis itu tak bergeming. "Bisa kau hentikan?" Ia memohon menatap manik emas yang juga menatapnya balik melalui pantulan di cermin.

"Kau cantik, Lumine," di arahkannya wajah gadis itu menatapnya. Aether melumat bibir gadis itu tanpa ragu, memutar badannya, menekan Lumine hingga ke dinding. Diangkatnya kaki kiri gadis itu, lalu memasukkan kemaluannya pada vaginanya.

Keduanya mengerang keenakan, Lumine tidak bisa mengendalikan tubuhnya, ia terus menghisap junior pemuda itu kuat-kuat. Desahan gadis itu membuat pemuda itu semakin tak terkendali, ia menopang badan Lumine yang hampir terjatuh lemas. "Hentikan," gadis itu merengek, pikirannya kacau karena ini hari spesialnya. Ia malah kedatangan tamu yang paling ia benci.

"Tubuhmu tidak demikian." Aether memaju-mundurkan tubuhnya menggenjot badan gadis itu tanpa ampun, sesekali ia memainkan ritmenya dengan cepat mau pun lambat. Ia menikmati ekspresi gadis itu, melihatnya tak berdaya dan hanya meminta kelaminnya. Gadis pintar itu hanya akan terlihat bodoh saat ini, saat ia hilang kendali akan tubuhnya.

Aether mengangkat tubuh gadisnya yang mulai kehabisan tenaga, ia berjalan sambil menggendong gadis itu ke kamar mandi. Didudukkannya ke meja wastafel, gadis itu loyo, tapi terus digenjot hingga napasnya memburu. Pemuda itu mengambil satu botol kecil energy drink dari laci gantung wastafel, ia akan membuat Lumine jatuh hari ini dan tidak menghadiri upacara wisudanya.

Dibukanya botol itu, sesekali menatap ke wajah gadis itu yang mulai tak sadarkan diri, matanya kosong, mulutnya melebar, sesekali mengambil napas sambil mendesah. Dia baru saja sadar dari pingsan setelah dihajar habis Aether semalaman, dia tidak boleh pingsan lagi. Botol itu berhasil dibuka, Aether mengeluarkan penisnya yang masih menegang dari vagina gadis itu. Lumine mendesah panjang, ia sudah mencapai puncak orgasme, ditandai dengan vaginanya yang terus mengeluarkan cairan. Namun, Aether belum puas, sembari ia mengisi bak mandi itu dengan air, ia memastikan suhunya pas, lalu kembali pada gadis tak berdaya di atas wastafel.

Aether membenarkan posisi duduk gadis itu sembari menopang badannya, ia memandu Lumine meminum energy drink itu. Namun gadis itu menolak dan memuntahkannya. Ia tersenyum. Aether geram, ia menarik rambut gadis itu kuat, meminum dan menahan di mulutnya lalu dilumatnya bibir gadis itu, sambil meminumkan energy drink.

Lumine tersedak, ia terbatuk kecil berusaha memuntahkan. Aether menampar wajahnya, "sepertinya kau lebih suka aku menyiksa temanmu."

Mata Lumine membelalak, seketika pikirannya tertuju pada pemuda pemilik perusahaan mainan itu, Tartaglia. Apa yang bisa Aether lakukan padanya. Lalu memorinya berputar pada hari sebelumnya, saat ia bertemu dengan Kaeya, teman sekelasnya yang membantunya dalam penelitiannya. "Kumohon, tidak, Ae." Suaranya serak memohon pada pemuda yang berdiri di depannya.

Aether masih menggenjot gadis itu di bawahnya, Lumine mendesah sambil mengatur napasnya memburu. Sakit tak terkira terus menggerayangi badannya, ia menangis.

"Fokus!" Bentakkan itu terdengar menyakitkan pada telinga gadis itu. Pemuda itu menekan kedua pipi gadisnya. "Fokus, padaku!" Ekspresi Aether mengeras mengetahui pikiran Lumine tidak berada padanya. Manik emas itu menangkap sepasang emas lainnya, ekspresinya sedikit melunak.

Dilepasnya cengkraman itu dari pipi si gadis, lalu diciumi setiap sudut kulitnya, mulai dari leher hingga payudara meninggalkan bekas tanda kepemilikan. Ciuman itu terus mengililingi payudara si gadis, membiarkan Lumine menggerakkan sendiri panggulnya sambil mencengkeram penis itu dengan vaginanya.

Aether tak lagi bergerak dengan penisnya yang masih menegang, ia memainkan puting gadis itu dengan lidahnya, menghisapnya. Sesekali menggigit kecil dan menariknya. Tangan kirinya menopang tubuh gadis itu, tangan kanannya memainkan payudara kanan gadis itu.

"Ae," ia terbata-bata mendesah menggelinjang. Aether mendengar namanya dipanggil semakin menjadi.

"Ae, hentikan." Napasnya memburu kesakitan, entah sudah berapa lama mereka beraktifitas seperti ini. Hidup gadis itu sudah tidak normal, hanya menjadi budak pemuas seks kembarannya.

"Ae," suara mendayu yang penuh putus asa itu semakin membuat Aether menegang.

Ia melepas payudara gadis itu, menekan tubuhnya berbaring di meja beton sisi wastafel. Iramanya semakin cepat, diikuti dengan desahan gadis itu yang semakin tak beraturan.

"Ae!" Napasnya seakan putus saat Aether mencapai puncak dan mengalirkan cairan sperma dalam rahimnya. Sudah berapa kali begini, dia menolak mengeluarkannya di luar. Dan pasti, gadis itu dipaksa minum pil kontrasepsi dengan rutin. Begitu pula melayani seks setiap hari.

Ia merasa hidup normal saat terpisah untuk penelitian di Mondstadt, tapi mimpi buruknya kembali dengan semakin memperburuk keadaan. Kemarin Aether muncul dengan tiba-tiba di kampusnya, menjemput paksa kembali ke apartemen. Sebuah kebetulan atau memang Aether sudah merencanakan ini, pemuda itu berdalih mengambil cuti untuk menemani adiknya wisuda. Namun nyatanya ia sudah merindukan badan penghangat ranjangnya.

Lumine masih cukup waras bertahan selama 12 tahun menerima perlakuan ini. Ia sudah berkali-kali berpikir untuk mengakhiri hidupnya, namun ia berharap suatu hari Papa akan kembali. Sayangnya, sampai detik ini, harapan itu hanyalah pengharapan kosong.

Aether menarik penisnya dari tubuh gadis itu, sperma masih keluar sedikit demi sedikit, hingga tak lagi menengang. Vagina gadis itu penuh dengan cairan putih kentalnya. Ia mengambil pil kontrasepsi dari laci di dinding, meminumkan pada gadis yang kelelahan itu. Lumine tanpa sadar menelannya. Aether menciumi kening gadisnya yang patuh, ia menggendong gadis itu, memasukkan tubuhnya yang tak berdaya dalam bak mandi dengan air hangat.

"Mandilah, aku akan menyiapkan sarapan." Aether meninggalkan ruangan itu.

Lumine dengan sisa-sisa tenaga mengunci kamar mandinya, ia mengambil isi ulang pisau cukur di laci wastafel. Gadis itu kembali berendam, menenggelamkan tubuhnya, menyisahkan kepalanya. Ia sudah jijik dengan dirinya, harapan kosong itu tidak akan pernah ada. Bahkan pelayannya hanya diam melihatnya saat Aether memperkosanya tanpa henti.

Hidupnya sudah tidak berharga, satu sayatan kecil tak berasa baginya. Darah segar mengalir di pergelangan tangannya, ia menyayat pahanya, kembali ke pergelangan tangannya, kini lebih dalam. Pandangannya mulai kabur seiring air di bak itu dipenuhi warna merah. Kepalanya pusing bukan main, badannya sakit tak karuhan, gadis itu menyayat kembali pahanya, lalu ke pergelangan tangannya.

Dengan ia lenyap di dunia, tidak akan ada lagi yang akan menjadi korban Aether, ia juga tidak perlu tertekan melayani nafsu pemuda itu. Gadis itu ingin ketenangan, hidup normal, dan hanya menjalankan hidupnya dengan damai.

☆☆☆

[GI/FF] Genshin Impact : Living Miserable LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang