Editha menyembulkan kepalanya sedikit melalui balik pintu setelah ia berhasil membuka pintu dengan sandi yang sudah ia hapal di luar kepala. Sepulang sekolah, ia memang berencana untuk mengunjungi Airin di apartemennya. Dan begitu ia masuk,ia mendapati keadaan apartemen Airin sangat sepi. Dengan perlahan, Editha menutup pintu utama apartemen, kemudian berjalan menuju sebuah pintu kayu berwarna coklat setelah melewati ruang keluarga dan ruang makan.
Editha menempelkan sebelah telinganya ke pintu tersebut. Berusaha mencuri dengar ada suara apa di dalam ruangan. Editha mengayunkan daun pintu dengan pelan saat memastikan tidak ada suara yang terdengar dari dalam kamar Airin.
Di atas ranjang queen size, Editha melihat Airin sedang tertidur pulas dengan posisi menyamping, menghadap ke arah pintu dimana Editha bisa memandangnya dengan jelas. Ia melangkahkan kakinya perlahan mendekat ke ranjang yang bersebelahan dengan nakas yang di atasnya terdapat lampu tidur. Semilir angin masuk dengan perlahan. Menggoyang-goyangkan korden putih jendela besar yang membuka, terhubung dengan balkon berpagar pendek warna hitam. Kebiasaan Airin yang tak pernah berubah. Ia bisa tidur siang dengan pulas jika ada angin semilir yang menemaninya.
Tak mau membangunkan Airin, Editha duduk dengan perlahan tepat di samping Airin yang berbaring. Editha tersenyum sendu saat menyadari kedua kelopak mata Airin yang membengkak. Dugaannya, Airin pasti telah menguras habis kantung air matanya seharian. Dan bisa ia pastikan, earphone yang sedang menggantung di kedua telinga Airin, pasti sedang memutar lagu-lagu yang bisa membuat hati Airin tenang dengan sendirinya. Ya, itu kebiasaan Airin yang kedua.
Baru saja Editha berniat untuk melangkah menuju balkon, ia melihat kedua mata Airin yang perlahan membuka. Mengerjap-ngerjap pelan seolah sedang menormalkan pandangannya yang mengabur setelah lama terpejam.
"Hai, Dith," sapa Airin dengan suara seraknya. Kedua tangannya bergerak melepas earphone yang sedari tadi melantunkan lagu-lagu bernada minor dari kedua telinganya. Kemudian memindahkan bantal untuk dijadikan sandaran punggungnya pada kepala ranjang.
Editha hanya membalasnya dengan senyuman. Kemudian ikut bersandar seperti yang Airin lakukan.
"Udah lama?"
Editha menggeleng pelan, "Baru lima menit."
Airin mengangguk-angguk mengerti.
"Lo kenapa nangis?"
Mendengar suara Editha yang sarat kekhawatiran, Airin tersenyum tipis. "Kok lo tau gue habis nangis?"
"Billy semalem BBM gue," Editha berkata sembari memain-mainkan ponselnya. Mengetuk-ngetuk ponselnya pada paha yang saling menopang di atas ranjang Airin.
"Tapi walaupun Billy gak cerita juga, gue pasti tau lah dari perubahan ukuran mata lo yang udah kayak habis kena timpuk bola begitu," lanjut Editha. Telunjuknya mengarah ke kedua mata Airin bergantian sembari terkikik geli.
Airin hanya mendengus pelan.
Teringat sesuatu, Editha bergerak mendekatkan wajahnya dengan Airin. Telunjuknya berputar menunjuk-nujuk ke sekitar wajah Airin yang masih terlihat mengantuk.
Dahi Airin mengernyit saat melihat telunjuk Editha berputar-putar di depan wajahnya sembari menahan senyum sampai kedua sudut bibirnya terlihat berkedut.
"Lo apa sih," Gerutu Airin sembari memukul telunjuk Editha yang membuatnya risih.
Editha malah terkikik geli. Sebelah tangannya menutupi bibirnya. Wajahnya memerah menahan tawa.
"Gimana rasanya dipeluk Billy?" Editha berkata setelah tawanya mereda. Kedua alisnya naik turun, menggoda Airin.
"Lo-" telunjuk Airin menekan ujung hidung Editha. Kedua matanya membelalak. Terkejut. Entah kenapa rasa panas menjalar naik ke kedua pipi Airin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me be Yours
Teen FictionMama, Airin tahu, hidup kita harus terus berjalan meski semua tak sama lagi. Pertama karena dia, kedua karena Papa. Tapi Ma, Airin beruntung karena Mama gak termasuk dalam perubahan itu. Mama akan selalu jadi tempat Airin pulang -Airin Nefili- Aku t...