1

0 1 0
                                    

"Ah, menyebalkan." Gadis berambut pendek yang ada di depanku ini terus bergumam tanpa henti sejak tadi. Membangunkan ku dari lamunan pagi.

Hidup dengan diri sendiri cukup melelahkan, apalagi ditambah harus ikut serta dalam menjadi juri dalam kehidupan seseorang.

Tapi, tak menutup kemungkinan kegiatan tersebut jadi hiburan dan menyenangkan untuk diri sendiri di kala waktu senggang.

Seperti yang akan ku lakukan pada Gadis yang ada di hadapanku ini, mumpung ada waktu. Haha.

Tapi jika ku pikir lagi dia sendiri lah yang menyebalkan, salahnya sendiri tidak lari mengejar lift nya. Atau kalau pun ingin segera datang ke tempat tujuan, bukan kah di setiap gedung memiliki tangga darurat?

Kenapa harus repot-repot mendengkus, tcih segera lah pergi dari hadapanku.

lift tiba tak lama setelah dia berhenti mengoceh untuk kesekian kalinya, kemudian dia langsung naik diikuti olehku dari belakang

"Dia masih saja bergumam" ucapku dalam hati sembari kulihat dia dari ujung rambut sampai kaki dan berhenti lagi tepat saat dia menoleh padaku.

***

Aku heran pada Orang - Orang yang mengatakan kalau hidup sebagai wanita itu berat, ditambah jika terlahir sebagai anak perempuan pertama.

Apa mereka mengatakan itu karena lelah meraih impiannya sendiri atau meraih impian sesorang? Mimpi mereka yang terlalu tinggi atau gengsi mereka yang tinggi untuk memenuhi ekspetasi seseorang? Bukan kah kita sendiri yang memegang kendali atas tubuh dan hidup kita?

Aku tau, terkadang kita ingin melihat orang tua kita bahagia dengan cara tersebut, tapi apakah kita juga bahagia dengan hal yang sama? Jika memang tidak bahagia kenapa harus memaksa diri sendiri?

Dan lagi mengapa kita harus repot - repot mendengarkan perkataan mereka. Maksudku jika kita tak sanggup menjalani kehidupan tersebut, kenapa tidak berhenti?

Dan lagi pula apa yang menjadi titik beratnya? Apa hidup sebagai seorang wanita memang seberat itu? Atau memang itu hanya sebuah alasan bagi mereka saat mereka sedang terpuruk?

Lalu jika hubungan sebab - akibat itu menjadi poros nya, bagaimana jika saat dia berada dipuncak tertinggi kehidupan, apa yang akan terjadi? Apa dia akan tetap mengatakan hal tersebut?

"Hei!" Intrupsi dari seseorang Pria berambut cepak berwarna hitam kecoklatan membuatku tersadar dari lamunan pagi ku lagi. "File yang kemarin gue minta udah lu kirim kan?"

Ku tengok ke samping kanan pada seorang pria yang baru saja bertanya padaku. "Hmm, udah."

"Oke!" tepat saat pintu lift terbuka, "Gue duluan ya." Ujarnya lalu pergi keluar dengan tergesa-gesa.

Hanya anggukan yang ku balas, meski aku tidak yakin dia melihatnya. Aku terlalu malas membuka mulutku pagi ini.

Kulanjutkan kegiatan mengobservasi ku yang sempat tertunda tadi, Tunggu, Ahh sebentar sampai mana tadi aku berpikir?

Pintu semakin lama semakin penuh, dengan manusia yang terlalu bersemangat sampai mau berdesakan di ruangan yang sempit ini.

Ahh, pantas saja dia langsung turun saat pintu baru saja terbuka, kalau aku tau akan sepenuh dan sesesak ini aku akan langsung turun mengikuti dia tadi, menyebalkan.

"Permisi!! Permisi!! Mba Mas saya mau keluar!" ujarku saat kupikir aku tak sanggup lagi jika harus menahan sesak lebih lama dari ini.

Lagi pula kantor tempat ku menghasilkan keringat yang banyak dengan uang yang tak seberapa itu tinggal satu lantai lagi.

"Pasti bisa! Semangat!!" Kalimat penyemangat ku pagi ini saat melihat tangga yang menuju lantai atas di depan mata.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sang PecundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang