Ruangan redup itu makin lama makin terasa panas dan pengap. Gadis yang berbaring melentang di atas kasur yang cukup untuk dua orang itu termenung menatap bohlam yang mati. Bisa merasa keringat di sekitar leher dan punggungnya tapi sama sekali tidak merasa risih. Udara pengap yang mengepung ruang ia atasi dengan mengambil napas seminimal yang dia bisa. Dia merasa nyaman-dia ingin meresa nyaman.
Bagi gadis itu ruangan berukuran tiga kali empat meter persegi ini adalah zona ternyamannya. Namun, kedati begitu kini dia sama sekali tidak bisa merasa nyaman. Kepalanya terus berpikir, tentang ini-itu saling menyilang dan bertumpuk hingga menjadi begitu bising; bising dalam sepi; sepi yang bising. Perlahan matanya mulai terasa berat. Gadis itu tertidur dengan jaket hijau dan celana panjang cokelat.
"Lomba estafet putri, kurang satu orang, siapa lagi mau ikut? Din?"
"Voli."
Dalam pandangan yang sama gelapnya dengan kamar tak berlampu, dia bisa melihat sekitar yang ramai. Ada yang berbincang dalam kelompok, ada yang menggambar di papan tulis dengan kapur warna-warni, dan ada dua orang-pria dan wanita-tegak di belakang meja dosen. Yang lelaki berbicara agak lantang sedangkan yang perempuan diam dengan sebuah buku dan pena.
"Lari bentar doang. "
"Kagak, capek. Yang lain aja."
Gadis yang baru tersedar itu mengedipkan mata beberapa kali karena poni yang menutupi dahinya sampai ke pangkal kelopak mata. Dalam diam dia memperhatikan dirinya sendiri bergerak mengangkat satu tangan. "Aku aja," suaranya kecil menyusul.
"Serius, Rav? Yang lain ada nggak?"
Suasana makin ramai seperti tidak ada yang memperhatikan lelaki malang di depan. Siswa itu menarik napas dalam sembari membetulkan posisi kacamatanya yang merosot.
"Yakin bisa, Rav?"
"Bisa, 'kan estafet. Aku jadi pelengkap aja buat sementara."
"Oke nanti kalau ada yang mau ikut aku kasih tahu. Jangan maksain diri."
Lelaki berkacama tersebut kemudian mengangguk kepada siswi di sampingnya memberi isyarat agar menulis nama. Ravi memperhatikan gadis itu mulai mencatat. Walau mereka ada di depan dan Ravi di tengah ruangan, ia bisa dengan jelas mendengar keduanya.
"Emang kenapa kalau, Ravi ikut?"
Seketika segala pemandangan berusan lenyap, tersisa hanya hitam. Ravi bisa merasakan sekujur tubuhnya lemas dengan sedikit tasa nyeri di tiap detakan jantungnya. Masih dengan mata terpejam dia meraba dada kirinya untuk mersakaan detak jantung.
Maaf jantung anda berakhir pada orang seperti saya.
Dengan semua rasa tidak nyaman di badannya Ravi membuka mata dan mendapati rungan kamarnya sama hitam dengan saat mata terpejam. Harus mandi lagi, pikirnya karena sudah mandi keringat. Dan ganti alas kasur. Akan tetapi rencana itu mungkin akan tertunda karena saat Ravi kembali memejamkan mata, dia bisa merasa nyaman dan memutuskan untuk kembali terlelap beberapa saat, sampai...
"Nur, masih tidur?" Seseorang mengetuk kamarnya, seseorang yang membuat Ravi menghela napas.
"Nur, Nur, oi Nur bangun!" Menghela napas karena tahu betapa merepotkannya orang tersebut.
"Makan malam hamper siap. Bantuin dikit sono."
Pintu makin digedor. Ravi berpikir orang itu akan berhenti jika diabaikan, tapi dia selalu lupa kalua Aditya, saudaranya yang seumuran dibentuk berbeda; pintu itu akan diamuk sampai engselnya lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELASA
Teen FictionTik Tak Tik Lalu berhenti Tubuhmu seringan kapas melayang Berputar bak kelopak bunga Ah, aku tak mengenalmu Wujudmu terlihat semu Seperti hari minggu tanpa lagu Hujan mengulang waktu Tik Tak Tik Lalu lenyap