Perjodohan

7 3 6
                                    

Kediaman Keluarga Wijaya.

Pukul 07.00 WIB

Suasana meja makan yang terlihat tenang, dengan kegiatan sarapan dari ke empat penghuni rumah. Mereka memiliki aturan yang melarang untuk melakukan percakapan ketika saat acara makan berlangsung.

Sang gadis yang sedang memakai kaos oblong dengan celana hot pants pendek, nampak mengelap sudut bibirnya menggunakan tisue.

Kegiatannya itu dilirik oleh wanita paruh baya, yang mempunyai nama Marisa. Ya, dia adalah nyonya di rumah ini. Sedangkan yang dilirik hanya bersikap santai, dengan menghabiskan minuman coklat yang disukainya.

Ketika cairan coklat itu tandas, dan bersamaan dengan kegiatannya menaruh gelas di meja sang mama menegurnya. "Apakah tidak ada kegiatan sekolah hari ini?"

Sang gadis urung beranjak dari tempat duduknya, merasa ada tiga pasang mata memandang ke arahnya sebagai pusat perhatian.

"Tidak untuk hari ini, tapi lusa ada acara prom sekaligus pengumuman siapa siswa yang nilainya terbaik di sekolah."

Jawabannya mendapatkan anggukan dari sang mama, yang kini mulai membereskan piring kotor ke dapur. Sang gadis juga tidak tinggal diam, ia membantu sang mama agar kegiatannya segera selesai.

Kini sang papa sudah bersiap akan pergi ke kantor bersama dengan putra sulungnya, tapi sebelum mereka berdua pergi sang papa berbisik kepada sang istri, agar putri bungsunya tidak pergi ke luar rumah sampai nanti malam.

Ya, seperti yang sudah di rencanakan dari awal. Bahwa malam nanti, mereka akan kedatangan tamu spesial dari keluarga mendiang sahabat papanya. Tepatnya dari keluarga Adipati.

Sang istri yang mengerti akan maksut dari suaminya, mengangguk patuh dengan mengantar sang kepala keluarga, menuju kendaraan yang bersiap menuju kantor tempatnya meraih rezeki.

Setelah memastikan mobil hilang di hadapannya, Marisa menghampiri putrinya di belakang rumah. Tepatnya di teras belakang yang terdapat sebuah kolam renang luas, dan berpuluh-puluh tanaman hias miliknya.

Marisa menepuk pelan bahu sang putri, sehingga sang pemilik tubuh berjingkat singkat lalu kembali fokus pada gawai yang berada dalam genggamannya. "Mama, ngagetin deh!" decaknya kesal dengan bibir di majukan ke depan.

"Maaf Flo, Mama hanya ingin kamu mengerti keberadaan Mama saja." jawabnya santai dengan duduk di sebelah sang putri.

"Oh!" hanya gumaman yang terdengar setelahnya.

Marisa mencoba mengambil napas pelan, ia ingin menyampaikan apa yang tadi sudah dipesankan oleh sang suami. Berharap sang putri mau menerima dan tidak menolak janji perjodohan ini.

Masih asik dengan kegiatannya yang sedang melihat model gaun kekinian di gawainya, Flo terus menscrol layar gawai sampai mendapatkan apa yang ia inginkan. Sesekali melirik ke arah sang mama, yang masih diam tanpa ekspresi.

"Huh!" sekali lagi terdengar kata dengungan menyebalkan dari bibir gadis berwarna merah muda itu.

"Kamu kenapa sih Flo, dari tadi bibirnya di manyunin terus?" tanya mama mengernyit pelahan.

"Flo ingin pergi ke Mall, membeli gaun untuk prom nanti boleh gak?" seketika rengekan itu di perlihatkan oleh Flower kepada sang mama.

Merasa ini kesempatan bagus untuk ide mempertemukan Satria secara tidak langsung dengan Flower, mungkin bukan suatu ide yang buruk. Bukankah kesan pertama, adalah penentu adanya suatu hubungan? Ya, begitulah kira-kira.

Marisa menarik sudut bibirnya perlahan, lalu mengatakan apa yang ada di dalam hatinya. "Flo andai kamu tau, mengenai perjanjian perjodohan antara kamu dengan cucu kakek Surya dari awal. Apakah kamu mau untuk di jodohkan dengan Satria?"

Deg... .

Seketika keningnya berkerut, ada perasaan tak suka dari dalam hatinya. Ingin sekali dia mengucapkan kata protes dan menentang semua ucapan sang mama, yang sangat disayanginya. Tapi apakah pantas dia mengatakan ketidak siapannya saat ini, mengingat saat ini umurnya saja baru menginjak 18 tahun. Masih terlalu dini untuk melakukan suatu pernikahan, bukankah begitu?

Bibirnya terbuka-tutup, bahkan tanpa ia sadari gawai dalam genggamannya terjatuh. Napasnya mendadak sesak, dan berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya naik-turun seiring pikiran tentang pernikahan, yang belum terpikirkan olehnya.

"Bagaimana Sayang, kalian ada waktu dua hari lagi untuk saling mengenal. Dan setelah itu, sebelumnya Mama minta maaf, karena pernikahan kalian sudah ditetapkan sejak awal."

Makin ciut saja nyalinya, ketika mendengar kata 'pernikahan sudah ditetapkan'. "Apa tidak bisa diundur Ma? Mama yakin aku akan bahagia? Aku masih kecil dan masih ingin bermanja-manja dengan kalian, Mama, papa, dan juga Elvan." tiba-tiba puppy eyesnya berkaca-kaca, Marisa yang melihatnya segera memeluk putrinya dari arah samping.

"Percayalah kepada Mama, semua akan baik-baik saja. Nanti malam kalian akan dipertemukan secara langsung, dan kami orang tua akan membicarakan tentang resepsi pernikahan itu sendiri."

Bibirnya kelu dan tidak bisa mengatakan apa pun, tubuh dalam dekapan sang mama turut menjadi saksi bahwa begitu rapuh dirinya saat ini. Ia tidak mampu mengatakan 'tidak' kepada sang mama.

Ia kembali tersadar saat mama menggoyangkan tubuhnya perlahan, "Flo tolong jangan bilang tidak untuk satu kali ini saja?" pintanya memohon.

Ya, memang baru kali ini ia mendengar permintaan mama. Biasanya ia akan melakukan apa pun itu, dalam bentuk itu juga. Tapi tidak kali ini. "Tapi Ma, aku ingin melanjutkan kuliah dulu-"

Flo menggantungkan perkataannya, saat sang mama mengatakan ia bisa kembali mengejar cita-citanya seusai menikah nanti. Makin geram saja ia mendengar kata-kata menikah itu lagi. Rasanya ingin menghilang saja barang sebentar, dan kembali saat semua kembali normal.

Kali ini bukan hanya panggilan yang ia dapat, bahkan sentuhan sang mama yang kesekian kali bisa membuatnya kembali fokus, saat mama menceritakan tentang kakek yang berniat menjodohkannya sejak kecil. Bahkan mama dan papanya bisa menikah dan hidup bersama sampai sekarang pun, juga hasil perjodohan antar kedua orang tua.

Flo menganggap perjodohan keluarganya ini adalah suatu yang biasa terjadi, tapi baginya hal ini adalah lebih dari biasa. Jaman sudah modern, mana mungkin pilihan hidup seseorang harus melibatkan kedua kubu keluarga yang sibuk mengurus perjodohan putra-putrinya.

***

Sedangkan di tempat berbeda.

Ruang tamu keluarga Adipati, Griya Permata Residence.

"Papi tidak mau mendengar kata penolakan, nanti malam kita semua akan pergi ke rumah Tuan Ednan. Papi harap kamu bisa datang tepat waktu." Ujar pria paruh baya penuh penekanan.

"Ya Pi." jawaban singkat keluar begitu saja, berbarengan dengan suara pintu mobil yang di tutup dari dalam.

Blam!

Meninggalkan suara debaman yang tidak begitu keras.

Mobil Sedan Vios berwarna hitam mengkilat itu segera meninggalkan area teras rumah, menuju perkantoran elit milik keluarga Surya Grup.

Lelaki yang berada di dalam mobil itu adalah Satria, ia memijat pangkal hidungnya pelan saat mengingat ucapan sang papi yang semalam di katakannya setelah makan malam selesai.

'Terima perjodohan ini, atau namamu akan papi coret dari daftar pewaris keluarga Surya'

Shit! ucapnya sambil memukul kemudi, dan berusaha fokus pada jalanan yang mulai padat.

Ia masih tidak habis pikir dengan pola pemikiran keluarganya, tentang perjodohan yang memaksanya menikahi gadis di bawah umur. Sesekali ia melirik foto gadis tersebut di dasbor mobilnya, walau pun tak ada ketertarikan dalam dirinya.

Bersambung...


Istri Nakal Sang PresdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang