Ternyata Om-om

1.4K 110 118
                                    

Pernah gak sih, rasain capeknya lama jomblo?! Empat bulan sudah kuhabiskan waktu dengan menjomblo. Putus karena cowoknya gak ada effort, sampai bingung, ini beneran pacaran apa nggak, ya. Rasanya kayak nggak pacaran.

Bodo amat lah, sekarang waktunya cari yang baru aja. Aku lelah dengan drama kehidupan yang gak tau alurnya seperti apa. Kenapa hidup begini amat.

Maka dari itu, salah satu menghilangkan kepenatan dari kejombloan ini, aku harus membuka aplikasi Tinder!

Kebayang gak sih, aplikasi itu membantuku mencari cowo-cowo ganteng meskipun kutemukan yang gak jelas. Emang sih, se-random itu sampai harus bermain Tinder. Tapi banyak juga loh yang berhasil menemukan pujaan hatinya lewat aplikasi kencan satu itu.

Namun, tidak untukku. Entah sudah keberapa kalinya bertemu pria-pria di Tinder tak satupun yang bisa membuatku memilih mereka. Yang ada malah membuatku ilfeel.

Hey, kalian jangan menganggap bahwa aku terlalu picky, bagiku menjadi picker itu suatu keharusan, karena kan aku mesti mencari pria yang cocok untukku. This isn't time to play, time to find the right one for better future. My future, I mean. Ya, gak, sih? Bener, kan? Kalau ketemu yang gak pas, cuma untuk main-main juga buat apa?! Waste my time, banget. So, daripada berlama-lama, let's open Tinder and find the match!

Jujur, ini sih last buat aku, ya. Kalau misalkan aku menemukan pria yang gak pas, bikin ilfeel, terlalu berpikiran --you know what I mean- bakalan gak mau main aplikasi ini lagi, selesai sudah.

Saat aku sudah membuka aplikasi Tinder, kulihat ada yang menge-chat ku. Banyak banget chat masuk, namun tetap saja aku harus memilih siapa yang terlihat tampan, mapan, dan.... ah, intinya cukup lah. Kantongnya hahahaha.

Arold: Hi

Sebelum aku balas, mari di pantau foto-fotonya.

Wih, boleh nih!

Foto pertama lagi pose di rumput Golf sambil memegang Golf club-nya. Dan foto kedua di mobil. Beh, oke juga lah ini, kelihatan berduit, kalau gak berduit gak akan main Golf di lapangannya, kan? Untuk wajah masih okay lah, gak jelek-jelek banget dan gak ganteng-ganteng banget, masih SNI a.k.a Standar Nasionam Indonesia.

Sip, mari kita balas pesannya dengan isi pesan yang sama.

Aku gak tahu siapa yang memulai duluan swipe right sehingga kita bisa match. Entahlah, karena kadang saat aku gabut semua cowo yang bagiku lumayan, langsung saja aku swipe right, tanpa pikir dua kali.

Bukan hanya Arold saja yang aku balas pesannya, dari ratusan pria yang tidak kukenal pun, tetap saja aku balas meskipun ada yang ter-skip.

***

Kelas hari ini sangat amat membosankan, empat jam pelajaran yang kulalui akhirnya usai juga. Entah materi apa tadi, gak ada yang masuk di otakku. Terkadang aku suka sebal sendiri dengan otakku yang susah nangkap ini. Belum lagi lemotnya minta ampun.

"Ciska, jalan yuk gabut ni," Angel mengajakku setelah meletakkan buku-buku yang ada di atas meja ke dalam tasnya.

Aku menggigit bibir bawahku, berpikir keras apakah sekarang waktu yang tepat untuk jalan? Tapi rasa malas menyergapiku.

"Malming deh ya, kita kan jomblo, gak ada yang ajakin jalan juga, malming waktu yang tepat gak sih, Njel?" Ucapku diiringi cengiran yang khas.

Angel mendelik kesal. "Ya elah, maunya sekarang, malming ntar kita jalan lagi."

"Angel, angel, baby angel,,,," balasku disertai irama lagunya Angel Baby-nya Troye Sivan.
"Kalau kita jalan terus lama-lama duit menipis, duitku di dompet aja tingal tiga puluh rebu ni," lanjutku kali ini jujur, duitku memang tersisa tiga puluh ribu.

Marrying Om AroldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang