Begitu sang ayah kembali ke ruangannya, Haruto lantas mendekati sang ayah.
"Appa, aku melihat berita mengenai wabah flu di China. Jangan bilang Jeongwoo─"
Terlihat raut wajah sang ayah yang tegang. Sang ayah kemudian memegang kening Haruto.
"Syukurlah kamu baik-baik saja. Benar, Jeongwoo tertular flu di China. Sekarang dia sedang diisolasi."
"Diisolasi? Mengapa flu saja sampai harus diisolasi?"
"Flu yang dialami Jeongwoo berbeda, Haruto. Flu ini lebih berat dari flu biasa dan menular dengan cepat. Oleh sebab itu, Jeongwoo harus diisolasi."
"Appa─"
"Haruto harus kuat. Sama seperti flu, penyakit ini menyerang kita ketika lemah. Kalau Haruto tidak mau membuat Jeongwoo khawatir, Haruto harus menjaga diri."
"Sebentar lagi eomma akan kesini. Kalian harus tinggal terlebih dahulu di rumah. Appa akan memberikan informasi mengenai perkembangan Jeongwoo secepatnya."
"Appa─"
"Haruto anak yang baik, harus menuruti perintah appa. Benar kan?"
Haruto pun menganggukkan kepalanya.
୧| ͡ᵔ ﹏ ͡ ᵔ |୨ ୧| ͡ᵔ ﹏ ͡ ᵔ |୨ ୧| ͡ᵔ ﹏ ͡ ᵔ |୨
Di dalam perjalanan pulang bersama sang ibu, Haruto hanya bisa terdiam dengan tatapan kosong. Tak ada sepatahpun kata keluar dari mulutnya. Sang ibu pun juga tidak menginterupsi keheningan yang diciptakan anaknya tersebut.
"Ibu aku ke kamar dulu," itulah kata pertama dan terakhir yang Haruto lontarkan kepada sang ibu sebelum ia mengurung diri di dalam kamar. Haruto tak henti-hentinya berdoa, mengucapkan permintaan mujizat untuk kesembuhan saudara kembarnya tersebut.
Haruto mengeryitkan dahi melihat dua orang yang tak dikenalnya berada di rumah.
"Haru, sudah pulang dari latihan basket?" ucap Jeongwoo yang sedang membawa nampan minuman.
Haruto tetap memandang kedua sosok tersebut yang membuat Jeongwoo memahami sikap saudara kembarnya tersebut.
"Mereka temanku, Haruto. Wooyoung dan Mark. Mark ini murid pindahan dari Amerika, sedangkan Wooyoung asli Korea."
Wooyoung langsung berdiri dan mengulurkan tangan ke Haruto. "Perkenalkan, aku Wooyoung."
Haruto hanya mengangguk dan lantas memberikan coklat ke Jeongwoo.
"Tadi pas pulang latihan, aku tidak sengaja lewat toko coklat yang kamu suka dan membelinya."
Jeongwoo tersenyum bahagia dan Haruto lantas mengacak rambut Jeongwoo sebelum ia masuk ke kamarnya. Haruto merasa Wooyoung intens memperhatikan tangkah lakunya dengan Jeongwoo, tetapi Haruto tidak ambil pusing akan hal itu.
Memori masa lalu entah kenapa menjadi bunga tidur Haruto malam ini. Jika Haruto bisa mengatur bunga tidurnya, tidak sekalipun ia ingin memori itu menghiasi malam panjangnya.
Dengan penuh peluh di wajahnya, Haruto melihat saudara kembarnya yang sudah lemah tersungkur di atas rerumputan dan dikelilingi para pemuda dengan tampang tak berdosa. Haruto yang tersulut amarah, memukul seluruh pemuda itu hingga salah satu dari mereka mengucapkan kalimat-kalimat yang semakin menyulutkan amarah Haruto.
"Kami hanya ingin memberi pelajaran bagi saudaramu yang ingin memanfaatkan perempuan-perempuan yang menyukaimu."
"Maksud kalian?"
"Wooyoung. Anak itu menangis karena Jeongwoo memperalatnya untuk membelikan berbagai barang sebab Jeongwoo tahu Wooyoung menyukaimu."
"Dan kalian langsung memukul Jeongwoo begitu saja?"
"Sudah sepantasnya pemuda yang membuat nangis seorang perempuan."
Haruto mengepalkan tangannya dengan kuat.
Jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Haruto merasa tubuhnya berkeringat dingin.
Mengapa memori mengenai gadis sialan itu muncul lagi, gerutu Haruto sambil mengacak-acak rambutnya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Next Chapter:
Ia sama sekali tidak menyangka hal ini menimpa Jeongwoo.
Ia sama sekali tidak menyangka hal ini akan membawa Jeongwoo pada malapetaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Watanabe Haruto] Can We Always Together?
Fanfiction**Completed** Haruto, sang bintang basket sekolah, sangat menyayangi saudara kembarnya dan menjaganya dengan penuh kehati-hatian, layaknya menjaga sebuah gelas kristal. Sayangnya, saudara kembarnya itu semakin lama terikat dengan sahabat-sahabatnya...