Candi Cetho, 2013.
Sinar mentari merayap pelan di udara, menyebarkan kehangatannya pada Bumi. Kei duduk di bawah pohon rindang di Basecamp Candi Cetho, mata sayunya perlahan terbuka. Selimut biru yang selalu ia kenakan menempel di seluruh tubuhnya, menyisakan bagian terbuka pada wajah hingga ke dada.
Suara angin sepoi-sepoi dan nyanyian burung menciptakan simfoni yang merdu. Ia celingak-celinguk mencari seseorang yang ia kenali, hingga tak sengaja matanya menangkap kehadiran Dirga yang sedang duduk sambil merokok di salah satu warung.
Kei bangkit dan berjalan ke arah Dirga. "Yang lain pada ke mana?" tanyanya.
Dirga membuang asap rokok sambil menoleh ke arah Kei. "Nah, si kampret udah bangun nih! Yuk berangkat," seru Dirga.
Mendengar suara Dirga yang cukup keras membuat anak-anak yang agak terpencar itu berkumpul di depan warung.
"Aroma petualangan." Kei diam terpaku menatap puncak Gunung Lawu yang menjulang di kejauhan. Melihat pemuda itu, yang lain pun ikut melihat ke arah yang sama. "Seru," lanjut Kei.
Tas carrier besar yang berisi peralatan dan bekal untuk perjalanan mereka terangkat dari di tanah. Tirta menghela napas sambil berjalan membawa tas tersebut, hingga dirinya berdiri di dekat Kei.
"Tapi kalo tiba-tiba lu ketiduran jadi enggak seru lagi," ucap Tirta pada pria bermata sayu itu.
Kei mengambil sesuatu dari dalam tas kecil yang menyilang di tubuhnya. "Tenang, gua udah bawa ini." Ia menunjukkan satu strip obat pada teman-temannya.
"Apaan tuh? Obat tidur?" celetuk Andis.
"Bego," sahut Ajay menimpali Andis. "Jelas-jelas Kei tukang tidur. Ngapain coba bawa obat tidur? Obat bangun itu mah."
"Udah, udah." Dirga bangkit sambil menenteng tasnya yang tak kalah berat dengan tas yang Tirta bawa. Rokok di tangannya sudah habis dan ia buang di atas asbak. "Orang itu obat pelangsing."
"Pffttt ...." Andis dan Dirga tertawa bersama sambil menempelkan tos tinju.
"Orang itu obat rambut," sambung Ajay yang ikut tertawa.
Di tengah suasana jenaka itu, Tirta menatap ke arah Tama yang masih duduk sambil memainkan Playstation Vita yang ia bawa.
"Tam, ready enggak?" tanya Tirta.
Tanpa kata, pria tampan itu menyudahi permainannya. Ia memasukkan konsol permainan miliknya ke dalam tas kecil yang ia bawa seperti Kei, lalu berdiri sambil mengenakan tas daypack nya. Sorot matanya menatap Tirta seakan berkata 'ready'.
Kini Tirta menatap lagi pada seorang yang sedang berbaring di kursi warung dekat posisi Dirga. Wajahnya tertutup sebuah jaket merah yang ia jadikan selimut. "Lu ready enggak, Chul?"
Uchul menyingkirkan jaket merah itu dari wajahnya dan langsung mengenakannya untuk menutupi kaos hitam yang ia pakai.
"Yuk," jawab Uchul. Ia beranjak dari duduknya dan berkumpul bersama yang lain membuat lingkaran.
Mereka bertujuh saling merangkul. "Sebelum kita nanjak, kita berdoa dulu. Satu pesen gua ...." Dirga menatap seluruh sahabatnya. "Naik bertujuh, turun bertujuh. Berdoa mulai."
"Bentar, bentar ...." Andis menatap ke arah Uchul. "Chul, lu ikut berdoa?"
"Ikut, gua punya agama. Beda sama yang satu lagi," jawab Uchul. "Oh iya, satu lagi. Nama gua Tomo, bukan Uchul."
"Lah, si kampret ngeselin ke mana?" tanya Dirga. "Tidur?"
Uchul menatap tajam satu per satu wajah temannya. Memang beberapa hari ini ia tampak kalem dan terkesan pendiam, tak seperti kepribadian lainnya yang selalu bertingkah dan menggila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantra : Ekspedisi Lawu
HorrorGunung merupakan tempat yang kaya akan keindahan alam, tetapi rupanya gunung memiliki sisi gelap yang mungkin memberikan kesan ngeri bagi para sebagian penikmatnya. Tujuh pemuda melakukan pendakian ke Gunung Lawu. Tanpa seorang pun di antara mereka...