Tirta dan Dirga melanjutkan perjalanan turun mereka menuju Pasar Dieng. Namun, semakin dalam mereka memasuki kawasan tersebut, semakin suram dan mencekam suasana di sekitar mereka. Cahaya bulan purnama yang tadi begitu terang, seakan-akan meredup dan mendapati dirinya terhalang oleh awan hitam yang tidak biasa.
Mereka terus berjalan hinga tiba di sebuah pertigaan jalan yang aneh. Di depan mereka terbentang sebuah jalan buntu, kecuali satu jalur kecil yang memasuki semak belukar. Jalur itu terlihat seperti satu-satunya pilihan mereka, meskipun tampak tidak ramah.
"Perasaan tadi kagak begini jalurnyeh," ucap Dirga.
Tirta menarik napas dalam-dalam dan menatap ke arah Dirga. "Nah, sekarang apa rencananya?"
Dirga merenung sejenak, lalu berkata, "Kayaknya kita dituntun buat lewat itu jalur, tapi kita harus waspada, Tir. Gua punya firasat buruk tentang apa yang ada di depan."
Mereka berdua memasuki jalur kecil yang semakin memendam mereka ke dalam lebatnya semak belukar. Suara-suara aneh mulai menggema di sekitar mereka, dan bayangan-bayangan tak berwujud muncul dari dalam semak tersebut menciptakan suara kasak-kusuk yang cukup membuat was-was. Terdengar bisikan-bisikan dengan bahasa yang tak jelas, atmosfer di sekitar Dirga dan Tirta semakin mencekam.
Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di depan pasar yang gelap gulita. Pasar Dieng ini tak terlihat seperti beberapa saat lalu ketika mereka berjalan naik. Kali ini tak ada tanah bebatuan, melainkan banyak tenda-tenda hitam dengan hiasan-hiasan menyeramkan menghiasi setiap sudutnya, dan asap tebal mengambang di udara.
Area ini sangat ramai dan terlihat orang-orang sedang bertransaksi seperti mereka sedang berada di pasar.
Dirga dan Tirta saling berpandangan ketika mereka melihat perubahan drastis di Pasar Dieng yang seharusnya sepi dan sunyi kini tampak hidup, meskipun dengan aura yang sangat berbeda dan agak ... menyeramkan.
"Gimana nih, Bro?" tanya Tirta.
"Kagak tau gua," jawab Dirga.
Mereka berdua memutuskan untuk melangkah dengan hati-hati, mencoba tidak menarik perhatian siapa pun di sekitarnya. Orang-orang di pasar ini sepertinya sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tapi ada sesuatu yang aneh dengan mereka. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak dikenali oleh Dirga dan Tirta, dan ekspresi mereka terasa datar dan kosong.
"Coba tanya apaan kek, Tir."
"Tanya nih?"
Dirga mengangguk sembari menelan ludah. Renacanya agak gila dengan menumbalka kembarannya sendiri.
Tirta mendekati salah satu orang yang sedang duduk di depan tenda hitam. Sejenak ia mengatur napas agar tidak terkesan grogi, lalu memasang wajah datar dan tatapan kosong agar di kira salah satu dari mereka.
"Permisi, kami lagi nyari temen-temen kami, ada yang liat enggak? Satu orang pake topi, satu orang pake selimut, yang satu pake sarung tangan item, ada juga yang pake penutup mata satu, sama satu lagi rambutnya tipis di samping?"
Orang itu menatap Tirta dengan pandangan kosong, tanpa memberikan respon. Seakan-akan ia tidak bisa mendengar atau memahami kata-kata yang Tirta lontarkan.
Tirta berbalik, tetapi tiba-tiba sebuah wajah tepat berada di hadapannya, membuat pemuda itu terkejut dan terjatuh di tanah.
"Nemu jawaban?" tanya Dirga.
"Wah, bener-bener lu ya!"
"Lah, lu yang kaget sendiri. Ya udah yuk ah, lanjut." Dirga merangkul Tirta dan berjalan semakin dalam ke pasar.
"Tirta!" teriak Dirga dari arah belakang. "Mau ke mana lu?!"
Tirta merinding setengah mati. Terendus aroma busuk dari orang di sebelahnya. Ia yakin yang barusan memanggil itu adalah suara Dirga. Namun, jika itu benar Dirga, lantas ... siapa orang di sebelahnya? Ia pun memberanikan diri untuk menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantra : Ekspedisi Lawu
TerrorGunung merupakan tempat yang kaya akan keindahan alam, tetapi rupanya gunung memiliki sisi gelap yang mungkin memberikan kesan ngeri bagi para sebagian penikmatnya. Tujuh pemuda melakukan pendakian ke Gunung Lawu. Tanpa seorang pun di antara mereka...