Assalamualaikum....
•
•
•
•Happy reading
Brak!
Mirza membanting pintu ruangan begitu keras setelah berhasil keluar dari dalam ruang tersebut. Kejadian semalam ternyata membuatnya mendapat peringatan dari Kyai Hasan gara-gara Raihan.
"Jangan berpikir bahwa aku akan diam saja setelah kamu berbuat kekerasan ditempat ini!" ucap Raihan yang baru saja keluar dari ruangan itu.
Mirza mengepalkan kedua tangannya, ia melirik tajam pada Raihan yang sudah berjalan. Dia geram karena sifat Raihan yang selalu ikut campur tentang urusannya. Inilah alasan mengapa Mirza membencinya.
Mirza mengikuti langkah Raihan dari belakang hingga saat jarak mereka sudah dekat kemudian dengan sengaja Mirza menyenggol lengan Raihan cukup kasar.
Pria itu melirik kekanan disertai sorot mata yang tertuju pada Raihan. "Jangan sok berkuasa!" lirihnya.
Raihan tersentak atas pernyataan tersebut, ia melangkah kesamping Mirza dan membuat pria itu menatap Raihan sepenuhnya.
"Pesantren ini adalah milikku!" Raihan membalas tatapan itu dan berucap, "yang kau bilang, 'sok berkuasa' tentu wajar untuk ku." Dan setelahnya, Raihan berjalan kembali.
Sungguh ucapan tersebut membuat Mirza kembali mengepalkan kedua tangannya. Tatapannya tajam, namun ekspresi wajahnya tak bisa di artikan, tapi jika mendengar kalimat Raihan barusan Mirza tentu emosi akan hal itu.
Tidak membiarkan Raihan lolos begitu saja Mirza berjalan menyusulnya kemudian mengikis kasar lengan Raihan. Ia berhenti tepat dihadapan pria itu dengan tatapan datar nan permusuhan.
"Hanya karena lo anak dari kakek tua itu gak bisa membuat gue takut dengan ucapan lo barusan!" kata Mirza.
Pikiran Raihan benar, orang seperti Mirza hanya bisa mengganggu ketenangan di pesantren. Bukan hanya itu, terlepas atas apa yang sering Mirza lakukan selama belakangan ini hanya membuat dirinya, Abinya dan beberapa orang di pesantren membuang-buang waktu mengurus kelakuan mereka.
Tampaknya Raihan pun membentuk tembok permusuhan pada Mirza. Bukannya ia membenci pria itu, tapi Raihan tidak suka melihat orang pembangkan dan bikin onar berada di lingkungan yang sama dengannya.
"Aku harap polisi tidak datang ketempat ini hanya untuk mencari orang seperti mu!" Setelah mengatakan itu, dia pun beranjak.
Hanya dalam hitungan langkahnya saja, Raihan menghentikan kakinya untuk kembali menatap Mirza.
"Abi–ku adalah gurumu. Panggil beliau dengan sopan!" Selepasnya, Raihan benar-benar beranjak dari sana.
°°°°
°°°°"Lo yakin, Za?"
"..."
"Kalau Raihan dan si Mahmud datang lagi, gimana?"
"Biarin aja, gue gak peduli lagi."
Disanalah, dalam kamar mereka, Mirza dan keempat temannya akan kabur lagi dari pesantren. Persetanan jika mereka kedapatan lagi, asal Mirza bisa keluar dan segera menghabisi orang yang sering menerornya.
Panjang ceritanya mengenai kejadian yang menimpa Mirza beberapa tahun yang lalu. Tepat saat dia berumur lima tahun, ayahnya menyuruh dirinya untuk menunggu didepan bangun yang tak ia kenali. Mirza angat ingat perkataan ayahnya sebelum dia di tinggalkan.
"Jika kamu lama menunggu dan ayah belum kembali, masuk lah ke dalam rumah itu. Ayah hanya akan pergi sebentar saja!"
Begitulah kira-kira sepintas ingatan Mirza. Walau dulu tidak tau apa arti dibalik perkataan ayahnya, membuat ia hanya menurut. Hingga beberapa jam lamanya setelah kepergian ayahnya, Mirza tetap menunggu didepan bangunan tersebut hingga waktu malam tiba dan pagi datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Santri
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [ON GOING] Belum di revisi Pria dengan kopiah hitam dikepalanya yang sedikit miring tengah memandang satu bangunan yang cukup besar di hadapannya. Sarung yang tadinya ia pakai kini berada dilehernya dan bergelantungan bebas...