[29]

26.7K 3.4K 175
                                    

"Mulai sekarang, Abang adalah Abangmu!"

Ucapan tegas itu ditujukan kepada Aan. Namun Aan hanya diam, tak memberi respon.

"Andrean" panggil Liam. Sekali lagi, Aan tak merespon dan fokus ke makanan yang dihidangkan Liam.

"Abang bukan orang sabaran, An" ucap Liam, menekan seluruh katanya.

"Oh, sama dong kalau gitu" balas Aan santai.

"Andrean" ucap Liam penuh penekanan. Aan menatap pemuda itu sebentar, dan kembali memakan makanannya.

"Kamu tidak percaya?" tanya Liam tenang.

"Hm" balas Aan.

"Kayaknya kebalik deh. Seharusnya yang dingin dingin cool itu Liam bukan gue, anjir" batin Aan heran.

"Kenapa?" tanya Liam mulai melembut.

"Eee.... Nggak tau"

"Kamu takut?" tanya Liam lagi.

"Ahahaha.... Kenapa gue takut? Cuma percaya sama orang, gampang itu!"

Liam menyadari perubahan raut wajah Aan, remaja itu nampak murung, dan menghindari kontak mata dengannya.

"Tatap Abang" perintah Liam. Aan dengan ragu menatap Liam.

"U-udah?" lirih Aan.

"Bangsat! Suara gue geter" batin Aan.

Manik tajam Liam menatap lekat pada netra biru terangnya, hanya sebentar sebelum Aan kembali mengalihkan pandangan.

"Ada masalah?" tanya Liam tenang.

"Ah? Nggak ada kok"

"Oh ya? Kalau gitu kenapa murung?"

"Siapa? Gue nggak murung kok. Gue baik baik aja"

Liam menghela nafas, ia menatap Aan dengan senyum.

"Pasti capek ya pura pura baik baik aja?" Aan tersentak, ia benar benar menatap Liam. Liam masih tersenyum.

"Butuh pelukan?" tawar Liam sembari merentangkan tangannya.

Segera, Aan menuju pelukan Liam, isakan kecilnya terdengar jelas di ruangan sepi itu.

"Nggak apa apa kamu nggak percaya sama Abang. Tapi, kamu harus ingat, Abang selalu di belakang kamu. Jadi jangan nyerah ya?"

Hari dimana Aslan menarik kalungnya, Aan benar benar tak bisa tidur, ia tak menangis, ia menahan semuanya. Sendirian. Pada awalnya ia ingin curhat pada Axel, tapi ketika ia dan Axel bertemu duo M dan Cello. Aan kembali kepada rasa kecewa.

Dan entah sejak detik keberapa, ia mulai takut untuk percaya.

Ia ketakutan.

"Kamu gak perlu cerita apa yang terjadi. Nggak perlu bilang hal hal yang menyakiti kamu. Lampiaskan saja, Abang siap jadi pelampiasan kamu" ucap Liam. Nadanya benar benar lembut. Tanpa sadar Aan mengeratkan pelukannya.

"Sakit" lirih Aan disela tangisnya.

"Iya" balas Liam.

"Sakit, gue nggak suka"

"Kalau begitu tak usah dipikirkan" ucap Liam.

"Sesak"

"Hm. Mau berteriak biar tak sesak?" tawar Liam.

Detik itu juga Aan berteriak, "AAAAAAAAAAAAAAAAAHK!"

Liam mengusap punggung Aan, ia tak berbicara, membiarkan teriakan Aan mendominasi.

Happiness For AndreanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang