Chapter 18

61 6 3
                                        

Khawatir itu boleh dan juga manusiawi, asal khawatir itu tidak membuat kita egois dengan membatasi ruang gerak sosok orang yang kita sayangi.


// About Readiness //

"Woy, Cil! Jam tangan gue mana? Sendal gue juga lo taro di mana?"

Padahal jam dinding masih menunjukkan pukul tujuh pagi, tetapi di kediaman keluarga Farhan sudah sangat rusuh akibat teriakan juga gedoran tidak santai yang dilakukan oleh Althaf. Lelaki itu masih terus saja meneriaki nama Ayra sembari menggedor-gedor pintu kamar dengan kuat. Bahkan teriakan berupa teguran dari Aina dari lantai bawah tidak diindahkan oleh lelaki itu.

"Woy, Bocil buruan buka pintunya! Waah, lo masih ngebo, ya? Gue aduin ke mama lo!" Bertepatan setelah Althaf menyelesaikan ucapannya, pintu kamar Ayra terbuka.

"Kak Althaf apaan, sih! Ini tuh masih pagi banget udah buat rusuh aja," hardik Ayra seraya menatap kesal ke arah Althaf yang bermuka biasa saja.

"Ya, habis lo sih! Nyahut, kek," ujar Althaf seraya mengulurkan tangannya untuk memperbaiki handuk yang ada di atas kepala Ayra karena sedikit miring.

"Ya, menurut Kak Althaf kalau aku teriak di kamar mandi bakalan kedengeran sampai keluar gitu?" tanya Ayra sewot.

"Udahlah, lupain tentang kamar mandi dan teriakan lo itu. Sekarang langsung aja, jam tangan sama sendal gue yang lo pinjem kemarin mana? Buruan, gue mau pergi." Althaf mengulurkan tangannya di depan wajah Ayra yang masih menatapnya dengan kesal.

"Bentar, aku ambil dulu," ujar Ayra malas, kemudian masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil kedua barang Althaf yang sudah dipinjamnya.

Saat Ayra sampai di meja riasnya, jam tangan Althaf tidak ada di sana, kemudian gadis itu membuka salah satu laci yang isinya jam tangan juga case ponselnya, tetapi tetap saja jam milik Althaf tidak ada di sana.

"Mana buruan, Cil! Lama banget." Suara Althaf tiba-tiba terdengar di belakanganya, yang membuat gadis bermata bulat itu seketika menoleh.

"Bentar, Kak aku masih cari ini. Kayaknya ada di dalam tas aku deh. Bentar ...." Ayra kembali berjalan dan menuju tas yang kemarin di pakenya.

"Awas aja kalau jam itu hilang. Gue akan marah dan nggak nganggap lo lagi sebagai adik gue," ancam Althaf seraya mengikuti langkah Ayra.

Ayra sendiri tidak menyahut, dia sedang sibuk menggeledah tasnya guna mencari jam tangan kesayangan milik Althaf itu. Raut wajah Ayra seketika berubah, saat dia tidak menemukan keberadaan jam Althaf di dalam tasnya.

"Buruan, Cil! Telat nih gue ...." Ucapan Althaf terdengar menggantung saat Ayra berbalik memandangnya dengan raut wajah yang sulit dibaca plus tidak enak dipandang itu. "Kenapa lo? Jangan bilang jamnya beneran lo hilangin," lanjut Althaf dengan mata menyipit.

Ayra bergeming dengan kepala yang perlahan mulai menunduk. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, sementara kedua tangannya saling menggenggam erat di belakang punggungnya.

"Jawab gue, Ayra!" Perkataan Althaf memang bukan bentakan, tetapi tetap saja ucapan itu begitu menyeramkan di indra pendengar Ayra, hingga membuat gadis itu tersentak.

"Maaf, Kak Al ...."

"Jadi, jam gue beneran lo hilangin?" tanya Althaf dengan nada suara yang naik beberapa oktaf.

About Readiness (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang