Bertemu Babang Bule

8 2 6
                                    

Pada suatu sore yang cerah, walaupun masih berstatus jomblo, tak mengurangi semangat kami bertiga untuk merayakan weekend. Apalagi hari ini kami bertiga gajian.

Hidup dijaman ini sudah susah kan yah, jadi bawa santai saja. Nikmati apa yang ada selagi bisa. Jangan sibuk menghitung nikmat yang orang lain punya, sampai lupa mensyukuri nikmat yang kita miliki.

Anggap saja begitu. Biar kelihatan bijak, walau aselinya yah ngiler juga, ngelihat nikmat orang lain yang pada punya gandengan.

Ada ngenes-ngenesnya di hati.

Sebut saja kami bertiga ini, Charlie’s Angel versi Jawa. Ga Cuma kebab doang kan yah, yang boleh pakai embel-embel Jawa. Padahalkan, aselinya itu makanan impor khas timur tengah.

Ya, kami bertiga masih jomblo, ngenes memang, tapi gapapah. Kami bahagia kok. Dibikin bahagia ajalah ya pokoknya. Dan tetap, kami menomorsatukan rasa setia kawan.

Soal pasangan, walau saat ini belum ada satupun diantara kami bertiga yang punya, nggak ada istilah tikung-menikung diantara kami, kalau semisal ada salah satu dari kami bertiga yang agaknya nemu ‘target’, kami bakal support habis-habisan. Wajib ain hukumnya.

Walau seringnya yang terjadi malah kebablasan, auto ambyar dan berakhir sang target menghilang entah kemana. Entah itu kutukan atau apa, yang jelas sampai hari ini kami masih susah jodoh.

“Lungguh kono wae lah!” Ayu menunjuk meja kosong paling ujung.

Sebenarnya ini cafe terbuka, meja-meja berderet rapih dengan payung besar yang menaungi. Tempat yang bersih dan lumayan nyaman untuk sekedar nongkrong dan makan-makan.

Diseberang jalan ada sebuah taman yang biasanya kalau musim weekend begini, akan dipenuhi oleh pasangan muda-mudi. Salah satu pemandangan yang biasa saja menurut sebagian orang.

Namun tidak bagi kami bertiga.

Ngiler sih kadang, kalau ngelihat pemandangan diseberang jalan. Apa daya jiwa jomblo seketika teriris pilu ketika melihat pasangan yang sedang mesra-mesranya gandengan.
Batin seolah menjerit. Truck aja punya gandengan, kami kapan?

Yaelah!

“Oke.” Aku dan Heni menyahut nyaris barengan.

“Mau pesan apa ini?” Heni menawarkan pesanan.

“Aku nasgor, sama jus alpukat jumbo,” reques Ayu.

“Aku mie yak? Minumnya Es Jeruk,” pintaku.

“Oke,  kupesankan, siapa yang bayar? timpal Heni kemudian.

“Kowe!” jawabku dan Ayu kompak, kami berdua ngakak dan saling bertepuk sebelah tangan.

“Aseemm, dasar jomblo, dah pada gajian masih aja doyan traktiran!” Heni ngedumel sendiri. ” Nggak usah pakai acara tos segala, tos itu bertepuk sebelah tangan. Cinta aja ndak ada kok sok-sokan pakai bertepuk sebelah tangan!” Heni merepet sembari berjalan untuk memesan makanan.

Aku dan Ayu terkekeh.

“Ssttt .... Arah jam dua belas!” Ayu memberi isyarat, alisnya naik-turun.

“Enek opo? Cowok? Ganteng?” Aku mengerjap, seketika menoleh kearah meja dibelakangku.

Masya Allah, sungguh indah makhluk ciptaanMu ini ya Allah. Aku bersyukur dalam hati bisa melihat Bratt Pit kesasar. Bule cakep bermata coklat kucing, memakai kaos hitam dan celana jins senada, bersepatu kets dan jam tangan sport menambah kesempurnaan gayanya.

Diatas meja diletakkan laptop mini yang kelihatan canggih, disebelah tas ransel hitam.

“Bule ding! Kamu bisa ngomong bahasa Inggris nggak?” Ayu berbisik.

“Sitik-sitik i can lah.” Jawabku mengulum senyum.

“Buat kamu ajalah, aku nyerah kalau targetnya orang jauh. Kamu berani nggak?” kata Ayu, mimik wajahnya terlihat memberi tantangan.

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Ayu, tiba-tiba Heni muncul sambil mencak-mencak. Sepertinya ada sesosok makhluk astral penghuni pohon asem yang merasukinya, tapi, ah, masa iya?

“Cah, ada bule! Gantengnya warbyasah, ora umum, not public! ini gimana coba? Jiwa jombloku menjerit, meronta, pengen kenalan! Gimana dong?”

Heni langsung nyerocos bagai kereta tanpa stasiun, bablass! Heboh sendiri, sambil mencak-mencak persis cacing digaremin. Maklum udah lama jomblo. Eh, lhawong sendirinya juga jomblo kok malah ngatain orang jomblo. Dasar kawanan jomblo. Duh!

“Sudah tau! Memangnya kamu bisa ngomong cas cis cus bla bla bla, buat pedekate sama Kang Bule, hah?” Sambar Ayu tanpa tedeng aling-aling.
Seketika wajah Heni memudar dengan pasti, eh, jadi kayak lirik lagu. Memucat maksudnya, mungkin darah rendah, kan lapar.

“Nah itu dia, bikin darah rendahku jadi kumat. Emang nasib, giliran ada yang bening, tapi ga bisa bersanding.” Heni menghela nafas lemas, menyerahkan bobot tubuhnya diatas kursi.

Aku mendadak pasang senyum jumawa menghadapi kedua makhluk kurang darah didepanku. Jahat ya?

Puter Balik, Copot SendalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang