“Kabur!” teriak Dinda tanpa menoleh, entah apa yang baru saja terjadi, tapi Dinda berlari dengan kecepatan penuh.
“Loh loh loh, Nda! Kok mlayu seh?” Ayu panik, gelagapan dan bergegas menyusul Dinda, sementara tangannya masih sempat menyambar dua buah tas di atas meja. Satu tas miliknya dan satu lagi milik Dinda, yang sekarang ini kabur entah kenapa.
“Woey, kok aku ditinggal?” teriakku.Aku bingung sendiri, ikut lari nggak ya? Sisa makanan apa kabar?
Ish. Bocah-bocah semprul, tega-teganya kalian ninggalin aku. Awas ya kalian! Aku menggerutu sendiri kalang kabut, sambil nyeruput sisa teh dalam gelas, kan sayang! Ingat, mubadzir itu temennya setan loh. Untung nggak keselek.
Saat aku buru-buru bersiap untuk mengejar Dinda dan Ayu, terdengar sebuah suara yang memanggil dari arah tempat duduk Si Mister.
“Sik Mbak, Sik!”
Merasa ada yang manggil ‘Mbak’, akupun menoleh kearah sumber suara. Eh, loh? Mister kok manggil, Mbak? Walah rejekiku Iki, eh, eling! Kuwi Bule jatahe Dinda! Aku menggelengkan kepala berkali-kali mencoba menetralisir rasa kagok yang tiba-tiba melanda.
“Hehhh?” aku melongo, nyaris saja aku duduk ngelempoh di tanah saking nggak percayanya dengan telinga sendiri.
“Nitip salam kanggo kancane sampeyan yo?”
Lagi, aku terkesiap, menelan ludah saja rasanya tiba-tiba seret. Ini seriusan orang ini Bule kan? Kok ya fasih ngomong bahasa Jawa ini gimana ceritanya? pantesan aja Dinda memilih buat kabur, ngisin-ngisini kok ancen!
Si Mister melempar senyuman manisnya, sambil menyerahkan sebuah kartu nama. Duh, Mister! Senyumnya sampeyan kok menghipnotis, sih? aku merasa seperti salah satu audience acara live sulap di tipi-tipi.
Weissss jadi gini tho rasanya dapet senyuman dari Bule? Waktu seketika berjalan lambat, pergerakankupun mendadak slow motion, ketika mengulurkan tangan untuk menerima kartu nama, wajahku auto sumringah.
Senyumku kubiarkan mengembang sempurna, angin sepoi membuyarkan rambutku, persis adegan model iklan shampo. Malu-malu, kuselipkan anak rambut di belakang telinga. Sembari menatap sebuah kartu nama.Anganku ketinggian? Ya biarin! Kan aji mumpung, wong ngehalu gratis kok.
Cukup! Sekelebat bayangan Dinda menghunus garpu tepat di pucuk hidungku sanggup membuyarkan lamunan. Aku seketika sadar kalau mulutku masih terbuka lebar, untung nggak ada laler yang lewat.
“Mbak, Kok malah ngowo? Kancane sampeyan wes mlayu adoh loh.” Jentikan jari Mister Bule pas di depan wajah, membuatku gelagapan dan nyungsep kembali pada kenyataan.
“Hehhh?!” Aku mendelik ketika melihat Dinda dan juga Ayu sudah berlari menjauh.
“Loh, sampeyan kok ... Nganu, isok, nganuu ... Ituloh ... Anu, ... Walah, sepurane yo, Mas, eh, Mister, eh, Sir! Ealah embuhhh ...” aku merancau sendiri salah tingkah.
Apasih, anu-anu. Si anu lagi nganu mau anu apa nganu, Halah. Mulut kok nggak pernah sinkron sama isi kepala ini gek piye, jal?
“Ndaa ... Yu ... Enteniii ... Tunggu aku!” teriakku.
Akhirnya, walau dengan susah payah dan drama salah tingkah akupun bisa kabur dari TKP.
Jadilah sekarang kami bertiga lari kejar-kejaran, persis tiga pembalap terdepan Moto GP, yang berada dilast lap mendekati garis finish.
Duhh ya, gini amat nasib Charlie’s Angel kampung, kalo di tipi-tipi mah keren, apa aja bisa, cosplay jadi artis lah, mengungkap kejahatan lah, penyamaran sempurna, wes keren pol pokmen. Lah ini, kitanya yang lelarian kayak maling ayam yang ketahuan sama warga.
Dinda yang berlari dengan posisi paling depan, terlihat sebentar lagi sampai ditikungan pertama.
“Ndaa ...” Ayu berteriak, di belakang Dinda.
“Yuu ...” Ganti aku yang meneriaki Ayu.
“Mbaakk ...” Ada yang berteriak, di belakangku.
Loh, kok ada suara mas-mas yang ikutan lomba lari ga resmi ini juga?
“Makanannya belum dibayar!” teriaknya lagi.
Mampus!
Astaghfirullah, kok ya gini amat sih?
“Dindaa ... Ayu ... Berhenti! Bayar makanannya dulu!” teriakku frustasi.
Eladalah! Gustii!
Ambyar semua, gara-gara kelakuan Dinda yang asal main kabur-kaburan dari Mister Bule. Sungguh, kenapa weekend kami nggak pernah berjalan sewajarnya ya?
Keesokan harinya, Minggu pagi.
“Nih, dapet salam dari Babang Bule!” aku mengulurkan sebuah kartu nama, Dinda menerimanya dan meletakkannya disembarang tempat.
Kumonyongkan bibir sepuluh centi agar Si Dinda tau, kalau aku masih dongkol setengah hidup gegara kemarin dia kabur tanpa aba-aba.Eh, Si Dinda malah cuek bebek, melanjutkan aktivitasnya menyetrika baju. Mungkin dia tau, sebentar lagi juga mukaku bakal balik normal. Mana betah aku nekuk muka lama-lama. Pegel. Kram muka yang ada.
“Seriusan itu dari Babang Bule yang kemaren?” Dinda masih fokus dengan besi panas ditangan.
“Iyo! Asem kowe, iso-isone malah mlayu, kan beneran nek dek.e iso coro jowo. Kowe ga usah repot-repot ngomong hang sing song seng!” Sekali Dinda buka suara, aku langsung nyerocos.
“Aku udah mandi?”
“Heh?”
“Nggak bau asem!”
“Oo ... Semprul!”
“Uwisin aku, Cah!” Dinda mencoba beralasan.” Kalo aja nggak panas, pengen rasanya mukaku ini tak seterika biar licin, kemarin tuh berasa mukaku udah mau tak uwel-uwel saking malunya. Ya kabur lah aku.” Dinda berasalan sambil tetap fokus pada gosokannya.
“Ancen kowe ngisin-ngisini! Butuh bantuan nggak buat nyetrika itu muka?” sambar Ayu yang nongol entah darimana dengan sebungkus keripik singkong pedas dipelukan.“Gek Ndang, ditelpon?!” lanjut Ayu lagi.
“Sekarang?”
“Tahun depan! Beresin dulu setrikaan nya, enggak lucu kalo adegan pilem warkop kejadian disini. Itu setrika masih panas, bisa gosong beneran muka lu,” Aku memberi Dinda petuah sembari aktif ikutan ngunyah keripik singkong pedas di pelukan Ayu.
“Isin aku,” lagi, Dinda sok kalem.
“Woo ... Isin-isin yo ora kaisen?” sambar Ayu lagi, sebelum segenggam keripik masuk kedalam mulutnya. Bocah satu ini geragas kok ancen.
“Betul!” sahutku.
“Sek tho? Sabar kenapa? Jantungku isih marathon, kelingan ndek wingi!” Pandangan Dinda menerawang.
“Kapokmu kapan? Wahahaha!”Aku dan Ayu ngakak sampai keselek. Bener memang kata Pak Ustadz Komaruddin, kalau adabnya orang makan itu duduk yang anteng, diem, kalem, dan enggak boleh sambil ngomong, apalagi ngeledekin temen. Beginilah jadinya, kalau keselek kan seret! Galon, mana galon?!
“Sukurin! Azap temen doyan maido kancane ya ngunu kuwi, kesereten!”Dinda sepertinya puas melihat mukaku dan Ayu mulai memerah dengan umbel yang mulai mbeler kemana-mana.
Dinda terlihat menimang kartu nama pemberianku dengan wajah galau tapi merah merona. Agenda nyetrikanya dia skip. Kami bertiga memang tinggal satu atap. Sebuah barisan rumah kontrakan dengan sepuluh pintu ini, selalu rame dengan ulah kami bertiga.
Untungnya para tetangga, sudah pada kebal dengan ulah kami yang kadang geser kemana-mana. Jangan tanya apanya yang geser, susah jelasinnya!
“Telpon jangan?” tanya Dinda lagi.
“Gas pol rem blong!” sambar Ayu.
Sepertinya Ayu yang paling bersemangat. Mungkin karna dia yang pertama kali melihat Babang Bule.
“Lak Emoh, hibahne aku! Tak tompoh tangan sepuluh!” aku menaik-turunkan alis. Suwer deh! Aku juga demen kok sama produk impor. Tau lah ya ... yang kemarin aja aku auto slow motion sampe ngiler. Untung ga dicipok sama laler.
“Tanganmu mung loro!” protes Ayu.
“Derijine sepuloh we!” Aku bela diri.
“Teruss, Yen wes mok tompoh nggo deriji sepuloh, arep mok kucek opo?!” sahut dinda.
“Hai ... Kucek-Kucek Hota hai! Haiyyahh ... Tumpah se aee ... Yu Mus kurahee ... Tumnena jayengga, sapene dikahe ....” Tiba-tiba Ayu kumat, joget-joget sendiri sambil merem, terus melek, terus lanjut menyanyi, terus joget lagi sambil nowel janggutku dan Dinda bergantian, terus ....
“Boleh curigaa ... tak tarantak ... Boleh ga genah, terereng jreng! Ra usah merii ... Pancen ra nggenah! Uuu yeahh ....” Ayu masih heboh dengan lagu ala indianya.
Sumpah ya nih anak, seenak udelnya sendiri, lagu India Bole Chudiyan yang terkenal pada jamannya itu, digonta-ganti liriknya. Mana jadi gitu amat pula?
Krikkk ... Krikkk .... Krikkk ....
Jogetan ala orang lagi kesambet demit pohon nangka akhirnya selesai dan Ayu mau diam juga, setelah dengan tajam aku dan Dinda menatapnya dengan tatapan yang berkata, ‘kenapa, sih, nih, orang?!’
“Yowes tho, gek ndang ditelpon! Nyapo do nyawang aku? Ket sadar opo nek aku ancen ayu!”
Bukannya salah tingkah kaya orang normal pada umumnya, nih anak malah sok-sokan jumawa. Fix!
“Geser!” cibirku dan Dinda kompakan.
“Gek ndang!”
Ayu ga sabar. Aku juga enggak sabar. Sedang si Dinda malah gemetar.
Setelah berkelit dengan segudang alasan, akhirnya Dinda menelpon deretan angka yang ada pada kartu nama bertuliskan Mr. John Anthony Walker.
Tuut ... Tut ...
Dinda menempelkan benda pipih itu ditelinganya, aku dan Ayu yang nggak sabar ikutan ndusel dan mencoba mendengarkan pergantian nada dengan seksama.
Tegang bukan main.
“Yang ngangkat cewek, gaes!” Dinda panik.
“Cewek?!”aku dan Ayu memekik kompak. Mata kami berdua auto mendelik saking kagetnya.
“Ngomongnya pake bahasa Inggris lagi” lanjut Dinda.
“Walah wes duwe bojo? Durung rejekimu, Nda, Dinda!” sambar Ayu berbisik sambil cekikikan.
“Jajali di speeker!” Sahutku mulai nggak sabar.
Dinda menekan tombol speeker dan menghadapkan ponsel ke arah kami.
“The nomber you are calling, bla ... bla ... bla ... pleasa try again later!” kata mbak-mbak diseberang sana.
“Oo ... Semprull!”
Ealah gaes!
Nggak nyambung tibaknya. Masa iya, Si Dinda mau saingan sama mbak-mbak operator? Jungilah, panggah awet jomblo nih kayaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puter Balik, Copot Sendal
RomanceSebuah cerita ringan tentang persahabatan tiga gadis kocak bernama Dinda, Ayu dan Heni. Ikuti keseruan cerita tiga jomblowati yang menyebut diri mereka Charlie's Angel versi jawa ini dalam menjalani hidup ala anak kost, hingga mereka bertemu dengan...