•
•
•
•"Liontin ini punya saya, Pak Polisi!"
Raden dan Radit menarik kasar tubuh Mirza atas pengakuannya barusan. Kedua temannya itupun tak habis pikir mengapa secepat itu dan seberani itu Mirza mengaku? Tentang liontin itu, mereka sangat tau siapa pemiliknya dan hanya mereka berlima yang tau.
"Maksud lo apa, Za?" Kini tanpa sadar, Raden sudah mencengkram kerah baju Mirza.
"Bukan lo pelakunya!" timpal Radit.
"Kenapa lo ngaku, hah?!"
Semua orang menatap mereka, Kyai Hasan, Santri dan Santriwati bahkan teman-teman Mirza pun tampak terkejut. Bahkan yang lebih syok disana adalah kedua orang tua korban. Ya, mereka langsung menangis histeris dan hampir saja menyerang Mirza jika saja Polisi itu tidak menghalanginya.
Mirza tidak berani menatap siapapun, wajahnya memandang pada Raden namun tidak dengan matanya. Ia meluruskan tatapannya dengan kosong. Secara tak sadar ia mengakui pembunuhan itu, entahlah apakah Mirza seberani itu sekarang, mengakui kejahatannya?
Mirza memejamkan matanya sejenak kemudian menghembuskan napasnya secara perlahan agar mendapat keberanian menatap polisi itu.
"Benar ... I-itu punya sa-saya, Pak!" Sungguh Mirza sangat gugup berbicara seperti itu.
"PEMBUNUH! DASAR PEMBUNUH!"
"SEHARUSNYA KAMU TIDAK PANTAS BERADA DI PESANTREN INI! KAMU LAKI-LAKI BERANDAL, PENJAHAT! ALLAH AKAN MENGHUKUM MU LEBIH TRAGIS DARI KEMATIAN ANAK SAYA!"
Rintihan kasar itu berasal dari seorang ibu yang sangat sakit hati. Anak perempuannya, yang ia relakan menuntut ilmu di Pesantren ini harus menemui ajalnya lebih dahulu. Tangisan seorang ibu itu sangat menyayat dan mengiris hati Mirza. Ia akui sangat sakit hati.
Dalam hal ini, Kyai Hasan dan Raihan tak bisa berkata apapun, mereka diam membisu seakan masih mencerna kejadian ini. Dan jangan lupakan, ketika pihak keluarga Santriwati yang menjadi korban pembunuhan tersebut segera menuntut Mirza agar segera dipenjara.
"Atas pengakuan anda, kami harus membawa mu ke kantor polisi untuk keterangan selanjutnya!" ungkap polisi tersebut.
Hal itu tentu saja membuat keempat teman Mirza menahan polisi itu untuk membawanya.
"Pak, teman saya bukan pelakunya!" sarkas Radit.
"Mirza, lo gak boleh ikut!"
"Maaf kami harus membawa pelaku secepatnya!" sahut polisi itu lagi.
"Gak bisa gitu dong, Pak! Lagian belum tentu teman saya berkata jujur. Dan juga, gak ada bukti sidik jarinya, kan?"
"Saya sebagai pihak korban ingin menuntut pria ini agar segera mendapat hukuman yang setimpal! Bahkan dengan memberinya hukum mati sekalipun!" tutur sang ayah korban.
"Pak, jangan ngasal kalau ngomong! Teman saya bukan pelakunya!" ucap Pico tak terima.
Tak ingin mengundur waktu lama-lama, Mirza pun akhirnya dibawa oleh pihak polisi dengan tangan yang sudah diborgol. Mirza yang diseret begitu saja hanya diam tak berkutip, langkah kakinya ikut berjalan mengikuti langkah polisi walau sebenarnya, ia gemetaran.
Seteleh melewati beberapa Santri yang dilewatinya, kepala Mirzaa langsung menunduk bersamaan dengan tatapan Zira yang ditujukan padanya. Gadis itu tanpa sadar terus menatap pada Mirza, ia sepenuhnya tak percaya atas pengakuan pria itu.
"TEMAN SAYA GAK SALAH, PAK. DIA BUKAN PEMBUNUH." Disitulah, Raden dan ketiga teman lainnya terus menghalangi langkah polisi tersebut.
"Wit, kok, lo diam aja sih?! Lo gak salah, Wit!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekadar Santri (END)
Roman pour Adolescents[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [ON GOING] Belum di revisi Pria dengan kopiah hitam dikepalanya yang sedikit miring tengah memandang satu bangunan yang cukup besar di hadapannya. Sarung yang tadinya ia pakai kini berada dilehernya dan bergelantungan bebas...