Malam itu, seperti biasa, Gu Ja-Gyeong duduk di balai-balai samping rumahnya.
Pria itu duduk melamun, melihat siluet bukit yang mulai tertelan malam. Malam itu terasa panas dan lembap. Sama sekali tak ada semilir angin.
Meski baru pukul tujuh malam, tapi Gu Ja-Gyeong sudah mabuk berat. Dua botol soju kosong, dua gelas soju kosong, tertata rapi di sampingnya.
Saking mabuknya, Ja-Gyeong sampai tidak menyadari derap langkah kaki mendekatinya.
Kepalanya baru menoleh saat dia menyadari ada seseorang di sampingnya.
Ja-Gyeong mengangkat kepala, melihat Mi-Jeong berdiri di hadapannya.
"Kenapa kau minum tiap hari?" tanya Mi-Jeong, suaranya penuh kegusaran.
Ja-Gyeong menelan ludah. Lidahnya terasa kaku dan berat. Dia bisa melihat Mi-Jeong menggenggam strap tas kerjanya erat-erat, gadis itu terlihat seperti ingin menangis.
Ja-Gyeong menelan ludah. Minum soju sudah seperti ritual baginya. Dia selalu teliti dan cekatan saat siang—membuat furnitur bukan hal yang bisa kamu kerjakan dengan sembarangan.
Tapi begitu matahari tenggelam, Ja-Gyeong tak tahan lagi. Tanpa kesibukan, segala pikiran buruk akan muncul di otaknya. Nyata dan tajam.
Dengan mabuk, ketajaman itu bisa berkurang. Dia bisa duduk melamun dengan tenang, tanpa dibanjiri perasaan yang menyakitkan.
Maka dengan perlahan, dengan lidah yang berat dan suara teler, Ja-Gyeong bertanya balik, nadanya lambat, "Lantas, aku harus apa?"
"Kau ingin sesuatu?" desak Mi-Jeong. "Kau ingin melakukan sesuatu selain minum?"
Minum, pikir Ja-Gyeong. Mendengar Mi-Jeong menyebut-nyebut soal minum membuat Ja-Gyeong memutar badan, berusaha mengecek apakah dia masih punya soju untuk diminum.
"Pujalah aku," kata Mi-Jeong, dengan suara bergetar.
Dua kata itu membuat Ja-Gyeong mematung.
Pria itu bergerak lambat, melupakan soju sejenak, dan memutar lehernya dan menatap Mi-Jeong dengan terbelalak.
"Aku selalu merasa kosong," kata Mi-Jeong. Kini suaranya pecah oleh tangis. "Hanya ada pria-pria brengsek. Semua pria yang kutemui itu bajingan." Mata Mi-Jeong berkaca-kaca.
"Karena itu pujalah aku agar diriku merasa penuh."
Kabut alkohol masih menutupi setengah kesadaran Gu Ja-Gyeong. Dia bukan orang yang ahli dengan kata-kata, tapi memang apa artinya puja?
Mengapa Mi-Jeong terus menerus mengatakan kata yang aneh itu?
Bukankah kata puja biasanya digunakan sesuatu yang berada di altar? Memuja dewi, contohnya?
Bukannya Ja-Gyeong ingin berkata bahwa Mi-Jeong tak pantas dipuja... seperti yang sudah sering Ja-Gyeong pikirkan, dia selalu merasakan campuran ketakjuban dan ketakutan saat melihat Mi-Jeong.
Mi-Jeong yang selalu bisa diandalkan untuk mengisi piring-piring lauk tanpa protes. Yang selalu ditugaskan Bu Yeom mengirimkan kotak kaca berisi makan malam ke rumah Ja-Gyeong. Yang meski sudah lelah, masih turun ke ladang, menyiangi ilalang di antara barisan pohon-pohon jewawut. Memanen daun bawang di tengah terik matahari musim panas tanpa sedikit pun terlihat kesal atau kelelahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sanpo Journal
Fanfiction- My Liberation Notes' scene, but in Gu Ja-Gyeong's POV - Adegan My Liberation Notes dalam sudut pandang Gu Ja-Gyeong