Enam

1 0 0
                                    

Suara-suara di pagi hari mengisi kediaman Yara. Keluarganya yang memilih menginap semalam kini sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan.

Zenith yang baru keluar dari kamarnya dengan senyum sumringah langsung menghampiri mereka. Seperti biasa, kedatangannya tidak dianggap baik. Mereka menatap Zenith sinis lalu lanjut berbicang seolah ia tidak pernah ada.

Untuk itu, Zenith memutuskan untuk menghampiri Yara yang mengambil beberapa lauk.

"Rotinya habis, gak usah bawa bekal dulu hari ini," ucap Yara menyadari kedatangan Zenith.

"Iya ma, aku mau ikut sarapan."

Perkataan Zenith langsung membuat Yara menoleh menatap Zenith dengan kening berkerut.

"Cih, mau ikut sarapan juga ternyata. Gak tau malu ya kamu?" Ucapan itu terlontar dari bibir tante Mira yang juga berada di dapur tengah menuangkan sup jagung ke dalam mangkok berukuran sedang.

Sebagai tanggapan, Zenith hanya tersenyum tipis. Ia lalu berinisiatif membantu tante Mira.

"Sini tante, biar aku aja yang bawa ke meja makan." Zenith menawarkan bantuan seraya hendak mengambil semangkok sup tersebut.

"Gak usah, saya bisa sendiri kok," balas tante Mira menolak.

"Gapapa tante. Mending tante duluan aja ke meja makan, biar aku yang bawa ini."

"Zenith, mending kamu berangkan duluan aja ke sek–"

Prangg!!

"Arrkkhh!!"

Suara pecahan kaca disusul dengan teriakan membuat mereka yang tadinya berkumpul di ruang makan berlari ke arah dapur dan melihat apa yang terjadi.

"Apa-apaan ini?!" suara bentakan om Vano mulai terdengar dan cepat-cepat pria dewasa itu menghampiri istrinya yang tampak kesakitan. "Ambilkan obat!" perintah om Vano lalu dengan cepat Rio mengambil kotak P3K yang ada di sana.

Mangkoknya jatuh gara-gara ujung jari jempol tante Mira yang tak sengaja tercelup ke dalam sup dan membuatnya terkejut hingga sup itu tumpah.

Saat mereka sibuk dengan luka tante Mira, ada Zenith yang meringis kesakitan sembari memegangi lengannya. Telapak tangannya tersiram sup panas hingga memerah.

"Ssshh, akh." Zenith merintih pelan di belakang mereka, lalu ia berusaha meniup-niup punggung tangannya itu.

"Ya ampun, kak Zenith!" teriak Valen lalu buru-buru menghampiri Zenith, melihat kondisi tangan kakaknya yang memerah.

"Ma, kok mama bisa ketumpahan gini sih?" tanya Rio penasaran setelah om Fian selesai mengobati jempol istrinya.

"Gara-gara anak gak tau diri itu, yang sok-sokan mau bantuin. Udah dilarang, gak mau nurut. Keras kepala!" caci tante Mira.

Semua mata langsung tertuju ke Zenith. Tatapan marah, tak suka, dan jijik menghujam gadis itu. Tidak ada yang peduli dengan lukanya, dan hanya Valen yang menyadarinya.

Tiba-tiba oma berjalan ke arahnya, menarik Valen mundur agar mengatur jarak dengan Zenith. Lalu ...

Plak!

Satu tamparan dari oma mendarat mulus di pipi Zenith.

"Kamu belum juga paham tempatmu. Dasar hina." oma menekan kalimatnya.

Perih di tangannya serta rasa panas di pipinya sudah tidak terasa setelah ucapan itu. Perih dan panas di hatinya membuat fisiknya seolah mati rasa.

Zenith hanya ingin merasakan kehangatan keluarga. Ia ingin diterima dan menjalani kehidupan layaknya keluarga normal lainnya. Ia bukan orang jahat atau bejat yang patut dikatai hina.

30.000 FT.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang