(7) Menyerah. . .?

129 25 6
                                    

Setelah kejadian di sore hari itu, Xiaojun sampai sekarang belum bisa mencerna apa yang terjadi pada dirinya dan Hendery.

Xiaojun pulang dengan keadaan basah kuyup, ibunya belum pulang. Rumah terlihat sepi dan gelap. Xiaojun menatap kesekelilingnya dengan pandangan kosong. Di pikirannya dia berkata ini bukan rumahnya, seharusnya ada ibunya yang menyambutnya dan ayahnya masih ada disisi mereka berdua. Bukan seperti ini, seharusnya bukan seperti ini.

Pertengkaran dirinya dan Hendery tadi sore juga seharusnya juga bukan seperti itu. Xiaojun tidak tahu kenapa dirinya begitu marah pada Hendery, Xiaojun juga tidak tahu apa yang membuat Hendery begitu terlihat jelas membatasi dirinya pada Xiaojun sekarang. Apa yang Xiaojun katakan pada Hendery tadi? Apa kata-kata yang menyinggungnya? Hendery tidak pernah menceritakan soal kehidupan pribadinya, begitu juga Xiaojun. Tapi melihat Hendery terdiam seolah memendamnya seorang diri membuat Xiaojun kesal, apa selama ini Xiaojun dia anggap apa?

Apalagi Hendery mengatakan soal perasaannya pada Xiaojun, tapi itu sekarang tidak berarti lagi. Hendery pasti membencinya, dan Xiaojun sepertinya berhasil menciptakan musuh di kehidupan barunya ini.

Kalau di pikir-pikir, Xiaojun dan Hendery memang tidak sedekat itu. Mereka hanya teman satu sekolah dan juga rekan kerja yang akrab saja.

Xiaojun mengusap wajahnya dengan gusar. Melepas sepatunya yang basah dan berjalan kekamar mandi, memasukkan semua bajunya ke mesin cuci dan membersihkan badannya sebelum dia masuk angin.

Malamnya saat Xiaojun menyiapkan makan malam, nyonya Xiao pulang.

"Waaa, hujannya deras sekali. Xiaojun, kamu tadi pulang kehujanan?" tanya ibunya saat melepas sepatu. Dia belum mendengar jawaban anaknya, matanya sudah tertuju pada sepasang sepatu sekolah anaknya yang basah kuyup. Kalau begini, dia sudah tahu jawabannya.

Taklama Xiaojun muncul dari lorong dapur.

"Tidak juga, aku berlari saat pulang. Dan mommy, kalau pulang lebih baik menyapa dulu."

"Ah, maaf. Ibu pulang."

Xiaojun mendengus pelan, "selamat datang, mom. Aku buatkan teh hangat untukmu," Xiaojun yang selesai menata meja makan, kembali ke dapur untuk membuatkan ibunya teh.

Nyonya Xiao meeletakkan tasnya di kursi, menatap masakan anak lelakinya yang kian hari semakin menggiurkan tampilannya. Lalu tatapan beralih ke Xiaojun yang menyeduh air panas. Xiaojun menyajikan teh gandum untuk ibunya dan keduanya langsung menyantap makan malam mereka yang agak sedikit terlambat dari biasanya.

Nyonya Xiao diam sambil memerhatikan wajah kuyu Xiaojun, ditambah pipi dan mata yang terlihat sembab.

Xiaojun yang sadar telah di perhatikan dengan intens oleh ibunya menatap ibunya.

"Kenapa mom?"

"Kamu sakit?"

"Tidak, hanya saja cuaca jadi turun drastis. Agak dingin tapi aku tidak apa-apa." Xiaojun meletakkan sumpitnya tanda dia sudah selesai makan.

Saat selesai makan malam, nyonya Xiao merasa yakin anak semata wayang ini tidak baik-baik saja. Tapi disisi lain dia juga tidak tahu apa yang membuat Xiaojun terlihat sedih.

"Nak, sini." panggil nyonya Xiao. Xiaojun memiringkan kepalanya bingung, dia baru saja ingin balik kekamar tapi ibunya dari dapur merentangkan kedua tangannya.

"Sini," tanpa menjawab apapun, Xiaojun terkejut saat ibunya menarik dirinya ke dalam dekapan hangatnya.

"Mom, kenapa?"

"Maaf," ucap ibunya dengan suara lirih. "Tapi mommy juga berterimakasih padamu karena menjadi anak mommy yang paling kuat."

"Ada apa, mom? Tidak biasanya kamu seperti ini?"

Bad romance. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang