"Kakak tuh kenapa sih? Kenapa malah dukung orang tuanya pisah? Emang kakak mau ayah pisah sama mamah?!"
Gadis ini duduk termenung di depan sang ayah yang tengah melontarkan kekesalannya. Ia diam tanpa berkutik, pandangannya lurus menatap ayah, tapi pikirannya entah berkelana kemana.
Ia tidak dengar, lebih tepatnya tidak ingin mendengar protes sang ayah.
"Jawab kak, kenapa diam aja? Terus kalo ayah sama mamah pisah kakak mau tinggal sama siapa? Sama mama? Terus memang nanti mamah bisa lanjut kuliahin kakak?"
Diam yah, diam!
Gadis ini terus diam tanpa bergeming, entah apa yang sedang ia pikirkan, apa dia mendengarkan semua perkataan ayahnya,
"Ara cape yah... Ayah jangan protes ke Ara, yang gugat cerai ayah tuh mamah, bukan Ara, jadi jangan marah ke Ara..." Ucapnya dengan sekali tarikkan napas. Ayah terdiam, Ara pun beranjak dari duduknya, dan pergi meninggalkan laki-laki tua itu.
____
Ara membaringkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya terus berkelana kemana-mana. Otaknya tak bisa berhenti berpikir, sekeras apapun ia mencoba menenangkan dirinya, tapi semua itu terasa sia-sia.
Dadanya begitu sesak sejak berbicara dengan papah, sekuat tenaga ia menahan tangisnya kala itu. Menahan agar tak ada setetes air mata yang jatuh.
Tapi, air mata yang sejak tadi ia tahan, kini jatuh tanpa henti, membasahi pipinya. Seolah ingin berlarut dalam kesedihannya, Ara beranjak dari kasur, berjalan menuju stop kontak untuk mematikan semua penerangan dikamarnya.
Gelap sudah, tak ada setitik cahaya yang menerangi kamar Ara. Dikunci pintu kamarnya, dan ia pun kembali berbaring, melanjutkan tangisnya yang sempat tertunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ini Luka Ku
Historical Fictionbeberapa kata yang membuat ku meneteskan air mata