2J : Bab 23

2.1K 267 14
                                        

23

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

23. Ketika Ego Tak Lagi Memiliki Obat Pereda

***

Laki-laki paruh baya bersetelan jas yang di padukan celana bahan itu berjalan dengan tubuhnya. Menggenggam serangkaian bunga dengan wangi yang semerbak. Hari ini, Jemian sengaja mengambil cuti untuk mengunjungi tempat peristirahatan terakhir sang pendamping. Setelah beberapa menit berdiri, dia akhirnya mengambil posisi duduk di samping batu nisan bertuliskan Anelise Defiara.

"Hai cantik," ujarnya parau.

"Ah iya, aku baru ingat, kamu nggak pernah suka dipanggil cantik," lanjut Jemian, memecah keheningan. Di hari yang hampir sore ini, ayah si kembar sudah memantapkan niatnya untuk mengunjungi makam mendiang sang istri.

"An, maaf kalo aku terlalu jujur, tapi rasanya lelah mengurus dua anak laki-laki dengan kepribadian yang berbeda jauh. Jerdian dan Juandra udah tumbuh jadi anak laki-laki yang hebat. Kalo kamu masih ada, pasti berbagai pukulan udah aku terima karena aku tanpa sadar udah jadi ayah yang buruk buat mereka berdua. Aku udah melampui batas sebagai seorang ayah dalam mendidik anak-anaknya, An. Bisakah kamu kembali lalu tunjukkan jalan bagaimana caranya kembali?" gumamnya.

Kehilangan cinta terakhirnya, tak pernah ada dalam bayangan seorang Jemian, meskipun ia sadar akan sebuah kenyataan bahwa 'people come and go.' Bagi Jemian, cinta bukan hanya sekedar sebagai pelengkap perasaan, karena orang yang kita cintai, kadang kala membantu kita untuk lebih bisa mengontrol diri dan menekan segala ego yang ada.

Kesederhanaan yang Jemian miliki dulu, berasa tak ada masalah karena istri tercintanya selalu bisa mengajarkan apa itu bahagia yang sederhana. Namun, semua berubah kala sang istri harus pergi meninggalkan ketiganya —Jemian dan dua anak kembar yang masih kecil kala itu. Laki-laki berumur itu menjadi lebih ambisius dan emosinya makin mudah terpancing.

Semua orang pasti punya rahasia atas perasaan yang tak dapat di ungkap lewat untaian kata. Itu lah yang sedang Jemian rasakan. Begitu banyak rasa yang tak bisa ia deskripsikan, namun begitu menyesakkan di dalam sana. Laki-laki dengan wajah yang sudah tercetak beberapa kerutan itu, meletakkan bunga yang ia bawa, kemudian mengangkat kedua tangannya untuk merapalkan doa. Setelah selesai dengan kegiatan berdoa,Jemian bangkit dari duduknya sembari mengusap sisa-sisa buliran bening yang tadi sempat menetes.

"Aku janji, akan memperbaiki semuanya, setidaknya sampai anak-anak kita dapet kehidupan yang layak meskipun aku lagi nggak sama mereka. Setelah semuanya beres, aku bakal kembali ke sini dengan perasaan yang lebih lega dan tenang. Aku pulang dulu ya, sayang. I still love you, till the day i die."

Sepulangnya dari makam, Jemian langsung menuju sekolah si kembar. Sepertinya dirinya telat datang, terlihat dari Jerdian yang sudah duduk manis di sebuah halte dekat sekolah. Tanpa basa-basi, Jerdian masuk ke dalam mobil sang ayah. Cowok berseragam SMA itu duduk di kursi bagian depan dan pandangannya hanya fokus ke luar jendela.

Dua Sisi (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang