Aku berjalan sambil menggendong ranselku menuju suatu tempat. Di setiap menit, aku terus-terusan menghela napas dengan khawatir. Entah apa yang harus aku khawatirkan sekarang ini selain diriku sendiri.
Omong-omong, namaku Zapher Shadiev.
Kata zap artinya adalah pertengkaran, dan aku lahir di tengah pertempuran antara warga sipil dan pasukan vloender di tahun 2995 yang berseteru soal masalah mayat hidup pengganggu kehidupan manusia garis miring zombi.
Kalau kau bertanya-tanya kenapa namaku seaneh itu.
Lepas dari itu, aku hanyalah seorang gadis di antara ratusan manusia yang tinggal di komplek perlindungan di Long Island, New York. Oh, New York tidak sebagus yang kau pikirkan. Isi komplek di sana sangatlah sederhana dan terkadang menjadi sangat pengap. Kehidupan di luar komplek pun tak kalah menyedihkannya; bunga dan rumput liar dimana-mana, tandus, rumah-rumah reyot yang mungkin menjadi sarang zombi di malam hari, jalanan seperti kota mati, dan toko-toko atau kios yang sudah tak berpenghuni.
Di ujung jalan, terdapat gedung sekolah jelek yang terkesan angker. Tapi tempat itulah yang menjadi tujuanku sekarang. Setelah semua hal yang dilalui dunia, betapa beruntungnya para remaja karena masih bisa bersekolah kendati tempatnya seperti itu. Bahkan sekolah ini tak memiliki nama.
"Hei, kau Zapher, kan?" Tiga orang lelaki bertubuh kekar dan besar muncul di gerbang sekolah. "Anak kelas 12-2 yang katanya sombong itu?"
Aku tertawa sinis. "Menurutmu, apa yang bisa aku sombongkan? Tak ada yang pantas sombong di zaman ini."
Salah satu lelaki itu menatapku tajam, dan aku balas menatapnya. Ah, mereka adalah anak-anak penindas yang terkenal dari aku duduk kelas 7. Joey, Mark, dan Henry. Aku pikir mereka takkan pernah menindasku karena aku termasuk orang yang kurang dikenal dan jarang bergaul. Kata tepatnya, aku tidak populer.
Aku memutar bola mataku, lalu menerobos ketiga orang itu. Namun, salah satunya menahan tasku. "Kau pikir kau siapa, eh? Kami perlu bicara denganmu!"
"Bicara apa, sih?" tanyaku malas.
"Apa kau yang meninju Jamie kemarin?" Mark balas bertanya. Ya ampun, kenapa dia malah membahas masalah itu?
"Ya, memang kenapa?" sahutku tak peduli. Jangan pikir aku akan dihukum dengan guru karena melakukan hal semacam itu. Maksudku, sekolah ini sama sekali tidak berbobot, jadi murid-muridnya terkesan liar serta tak diperhatikan. Mereka dibebaskan membuat keributan atau melakukan penindasan separah apapun. Mungkin karena besar di lingkungan itulah aku menjadi ikutan bandel. Bahkan aku pernah berkelahi dengan anak lelaki beberapa kali.
Soal Jamie... aku tidak meninjunya tanpa sebab. Dia merayuku agar main ke rumahnya dengan nada yang begitu menjijikan dan mesum, jadi tak heran aku langsung meninjunya. Memang, aku kurang bisa mengontrol emosiku.
"Hajar dia, Mark!" seru Joey bersemangat. Sial, seharusnya aku ingat kalau mereka adalah teman dekat Jamie. Meninjunya sama saja menjerumuskanku ke penindasan tiga orang ini.
Aku mengambil posisi terbaik agar aku bisa menghindar dari mereka. Tak lama Mark mulai melancarkan tinjuannya. Aku kontan menunduk. Uh, tak ada yang bisa kulakukan selain menghindar. Kalaupun aku melawan, aku akan kalah. Mereka, kan, laki-laki. Dan gilanya, aku yakin mereka takkan peduli separah apa aku dipukuli walaupun aku ini perempuan.
Serangan lain mulai berdatangan dari lelaki berkulit gelap bernama Mark itu. Beruntungnya aku, karena tak ada serangan dari Mark yang bisa melukaiku.
"Mark!" gerutu Henry yang kesal karena ia tak bisa menghajarku. Mark menoleh, dan aku manfaatkan kesempatan itu untuk menendang belakang kepalanya lumayan keras dengan gerakan melompat kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fearless
Science Fiction[SUDAH DITERBITKAN. Part 4 s/d epilog telah dihapus untuk kepentingan penerbitan] Tahun 3012. Teknologi telah lenyap. Semua hal yang berbau kecanggihan menjadi tersendat perkembangannya sejak kelahiran penemuan baru dari seorang profesor, yang denga...
