Setelah beberapa jam aku terjebak, akhirnya aku bisa membebaskan diri dari tali sialan ini. Pergelangan tangan dan kakiku merah akibat kuatnya ikatan. Keterlaluan sekali Mark dan komplotannya itu.
"Sudah jam berapa ini?" gerutuku tanpa sadar sambil melihat ke arah jam dinding. Jam menunjukan pukul 5.54 sore. Gawat! Sebentar lagi pagar komplek perlindungan akan ditutup.
Aku berlari keluar dari sekolah, mendobrak pintu kelas sampai pintu itu lepas dari engselnya. Masa bodoh, aku bisa mati sebentar lagi kalau tidak bertindak nekat. Aku kembali berlari menerjang hujan, tak peduli soal seragam dan tasku yang menjadi basah. Ini menyangkut hidup dan mati, Kawan!
5.59. Sial! Sial! Sial! Jarakku tergolong cukup jauh dari komplek. Ya ampun, aku benar-benar akan mati!
"Hei, hei, tunggu!" teriakku ketika gerbang tertutup bersamaan dengan datangnya aku ke sana. Aku menggedor pagar dengan keras, tapi takkan ada yang membukakannya untukku. Tentu saja, ini peraturan yang sudah berlaku. Siapapun yang berada di luar pagar di waktu yang telah ditentukan, tak boleh masuk sampai esoknya.
Aku berlutut di tengah hujan. Rambut dirty blonde panjangku basah kuyup karena hujan. Matahari memang sudah tak tampak saat hujan, ini akan mempengaruhi zombi akan datang lebih cepat dari biasanya. Baiklah, apa yang harus kulakukan sekarang? Tak mungkin aku bisa memanjat pagar.
Tiba-tiba, suara geraman terdengar lima menit setelah aku berada di luar komplek. Aku merapatkan punggung di pagar dengan takut-takut. Mataku melirik kesana kemari menjelajahi seluruh tempat yang terjangkau mataku. Tapi karena gelap, aku tak bisa melihat banyak.
Dari rumah tua yang berjarak sekitar tujuh meter dari sini, untuk pertama kali dalam seumur hidup mata kepalaku melihat langsung kedatangan zombi dari sana, ia berjalan tertatih-tatih ke arahku. Sosok tersebut sama persis dengan apa yang digambarkan orang-orang: berwajah hancur, dan di bagian sekitaran kepalanya terdapat semacam, ehm, mungkin nanah bercampur darah?
Oh, ini adalah akhir dari hidup seorang Zapher Shadiev, cewek yang baru ditindas tadi siang dengan sekumpulan orang-orang sialan yang sok. Aku meletakkan tangan di dada dan memejamkan mata. Kuucapkan kalimat keramat yang ditujukan pada diriku sendiri, "Istirahat dengan tenang, Zap."
Hell! Tentu saja tidak akan terjadi. Aku tak menyerah semudah itu apalagi terhadap seonggok mayat hidup berwajah hancur. Bring it on, silly zombie!
Si zombi itu makin mendekat ke arahku. Aku memasang ancang-ancang, dan sesampainya ia pada jarak yang sudah kuperkirakan, aku menendang dagunya dari bawah. Kepala zombi itu melayang lalu terjatuh di belakang tubuhnya. Apa? Ia mati semudah itu?
Dua zombi lain bermunculan, kali ini datang dengan lumayan cepat dari samping kanan dan kiriku. Aku menendang perut salah satunya sampai ia terpelanting dan melakukan tendangan memutar ke kepala zombi satu lagi.
Ini mungkin mulai terdengar mudah, tapi aku tak bisa melakukan ini sepanjang malam berhujan. Apalagi zombi-zombi makin banyak bermunculan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk membunuh mereka menggunakan kaki karena aku agak jijik kalau harus memukul mereka dengan tangan. Zombi itu berdarah dan bernanah, bakal bau nantinya.
Di kepungan para zombi, aku mulai kelelahan. Di ujung jalan, salah satu zombi aneh yang berjalan merangkak datang dengan cepat ke arahku. Ia memiliki tangan panjang putih pucat berbintik merah, wajahnya seputih kertas, dan giginya bertaring cokelat kekuningan. Begitu menyeramkan bentuknya sampai aku terkesiap untuk beberapa saat. Ia bahkan sempat memelintir pergelangan kakiku saat aku hendak menendang wajahnya.
Zombi macam apa itu?!
Tangan dinginnya membuatku takut, terkilirnya kakiku membuatku terjatuh, tak bisa bangkit. Zombi-zombi mulai mengepungku. Mereka menggumamkan sesuatu yang tak kumengerti seperti geraman dan raungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fearless
Science Fiction[SUDAH DITERBITKAN. Part 4 s/d epilog telah dihapus untuk kepentingan penerbitan] Tahun 3012. Teknologi telah lenyap. Semua hal yang berbau kecanggihan menjadi tersendat perkembangannya sejak kelahiran penemuan baru dari seorang profesor, yang denga...