Chapter 3: Agreed

61.2K 5.4K 544
                                        

Karena tidur cepatku semalam, kini aku bangun lebih awal. Pukul 6 pagi. Sedikit lagi adalah waktu aku bersekolah.

Setelah yang kulalui aku masih mau ingin bersekolah? Ya! Tapi tujuanku bukan untuk belajar, melainkan aku akan menghajar bokong monyet Joey, Mark, Velidsa, Henry, dan Jamie! Uh, aku bahkan berpikiran untuk memasak lalu menjual mereka sebagai makanan ringan di kantin sekolah.

Dan terlebih aku tak sabar bertemu dengan Jack. Mungkin dia akan khawatir karena aku tak pulang semalam. Semoga dia tidak menghajar Mark dan teman-temannya karena insiden ini. Bukan karena aku kasihan pada mereka, tapi aku ingin menghajar mereka duluan.

Aku turun perlahan dari tempat tidur--karena kakiku ternyata membengkak--kemudian pergi ke kamar mandi. Di sana aku menggosok gigi lalu mencuci muka, tidak mandi. Aku tidak peduli, toh aku tidak keringetan atau mengeluarkan bau aneh.

Aku keluar dari kamar. Di perjalanan aku mengingat dimana lift itu agar aku bisa keluar dari markas ini.

"Mau pulang?" Suara yang terdengar familiar di telingaku terdengar.

Aku menoleh, berusaha agar pandanganku tidak terkesan sangat ingin meninjunya. "Ya."

"Oh," sahut orang itu yang tak lain adalah Leo. Yeah, irit bicara.

Aku cepat-cepat berlalu dari hadapannya kemudian masuk ke dalam lift. Ya ampun, bahkan aku kesulitan memilih mana yang lebih aku kesal antara Leo dan Mark. Tapi karena aku berhutang terima kasih padanya... ah, sudahlah. Pasti dia juga takkan peduli soal ucapan terima kasihku.

Di lorong yang kemarin aku lewati, terasa agak menyeramkan karena aku hanya sendiri sekarang. Ah, cuma perasaan, yang penting aku segera pergi dari sini walau dalam keadaan pincang.

Tempat perosotan yang menjadi tempatku berseluncur masuk kemari kini berubah jadi tangga. Woah, berarti tangga ini hanya akan berubah jadi perosotan kalau ada yang mau masuk. Canggih juga.

Tapi tangga ini lumayan tinggi, aku akan kelelahan sekaligus kesusahan berjalan dalam keadaan kaki seperti ini. Ugh, ini takkan terjadi kalau zombi sialan itu tidak ada. Sial. Mau tak mau aku akan berjalan ke atas.

Baru memulai langkah ketiga, tiba-tiba punggungku ditubruk sesuatu yang langsung berteriak, "Maaf! Aku buru-buru!"

Aku mengumpat pelan karena jatuh tersungkur ke depan. Ketika mengangkat kepala, aku melihat sosok perempuan sedang menyandang tas dan berlari seolah baru dikejar zombi rabies. Dari belakang aku tahu dia adalah Joanne, tapi mau kemana dia?

Terserahlah. Aku memutuskan untuk tidak mau tahu dan melanjutkan perjalanan.

***

Satu abad pun berlalu dan akhirnya aku sampai di pintu masuk markas. Awalnya aku bingung bagaimana aku membuka pintu ini, tapi hanya dengan menyentuhnya, pintu langsung terbuka. Aku pun bisa keluar.

Pintu itu tertutup saat seluruh badanku sudah keluar. Bersamaan dengan itu matahari sudah terlihat di langit. Yap, tak ada ancaman zombi pagi hari ini.

Sepanjang perjalanan aku mengeluh sakit yang menjalar di kakiku. Walau begitu, aku tetap mencapai gerbang sekolah. Seandainya kakiku tidak sedang sakit, aku akan langsung berlari dan menendangi wajah orang-orang di kelas untuk meluapkan emosiku.

Pintu kelas yang kemarin aku dobrak berada di lantai, tak ada yang merapikan sekalipun guru. Betapa tercermin buruknya sekolah ini, bukan?

"Zapher?" tanya seorang guru yang sedang berdiri di depan kelas. "Kami sedang mendoakanmu yang katanya sudah mati dimakan zombi!"

"Oh yeah, sekarang doakan Mark dan kawan-kawannya yang sebentar lagi akan mati di tanganku!" Aku berlari menerjang Mark, tidak memperdulikan sakit di kakiku.

FearlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang