1 | Tengah Alam Semesta

276 20 0
                                    

TRIGGER WARNING!
'Met baca! ;)
ᵐʷᵃʰ

***

Dengan gembiranya ia berlari mengitariku beberapa kali. Aku memandang apatis dengan tawa yang kutahu tak akan padam, pun napas sesak menjadi akibatnya. Sensasi segar udara luar menyeruak masuk dalam dada, mengesampingkan bahwasanya sang surya berada tepat di atas kepala. Padang di depanku adalah tempat yang bisa memakan jiwa. Penuh peluh diriku datang kemari, menerobos hambatan dengan nyawa sebagai taruhan.

Walaupun aku tahu ini dunia nyata, pikiranku tetap menyangkal kalau aku ada. Ini seperti film yang diam-diam terulang kembali selagi aku berpaling dari teve. Aku bingung, senang, lelah, sedih, dan iri. Semua itu berkecamuk dalam benak, layaknya mesin yang tak henti mengaduk tanah, hingga hal itu berubah bentuknya.

Tanpa kusadari, telah berdiri di depanku sesosok pria kecil. Dia adikku yang terkasih, Claude Blanchet.

Aku lantas meninggikan alis lalu bertanya, "Kenapa?" Tanganku mulai meraih pusat kepalanya, membelainya pelan hingga pada pipi tirusnya yang mulai bersemu merah.

Anak itu melirik ke bawah, terdapat sepasang sepatu lusuh yang ia kenakan. Aku meringis. Dengan itu, tubuhku berjongkok di depannya, membuat badanku dan Claude mempunyai tinggi yang sama. Manik gelisah itu mendelik padaku. Saat bertemu pandang, ia mengalihkan netra.

Kulihat tangannya yang saling bertaut gugup. "Apa kau ingin main ke bukit bunga?" Aku bertanya sekali lagi tanpa melihat ekspresinya, sembari berusaha melepaskan lilitan jari-jemari, lalu menggenggam erat dua tangannya. Kulirik paras adikku. Manis. Mata itu melebar, sepenuhnya diisi oleh harapan masa kecil.

Kudekatkan wajahku pada telinganya, dan berbisik, "Sana, pergilah. Aku akan berada di sini; berjaga-jaga kalau ada yang datang."

Raut wajahnya menjadi cerah. Ia lalu berjinjit mendekatkan diri, dan membalasku dengan bisikan. "Benarkah? Gak bohong?"

Kumundurkan wajahku perlahan, lalu melirik Claude nyalang. Dia gamang.

"Aku ke sana duluan, ya," ujar anak itu lirih kemudian berlari ke barat.

Aku terdiam kaku menatap sepatuku. Sama saja dengan miliknya, tetapi punyaku jauh lebih buruk. Aku menyipitkan mata, bibir bawahku kugigit kuat. Bendungan ini terasa akan roboh dalam sekejap.

Kutolehkan jemala ke semua arah, sampai dapat menyakinkan diriku jika tiada orang yang mengikuti. Napas kutarik dan kaki kuangkat. Kini langkahku menuju ke sebuah pohon rindang untuk bernaung di bawahnya sampai Claude mengajak pulang.

Sebongkah batu berwarna kuning terlihat jelas mendekati arahku berada. Hingga benda itu mempunyai tangan kemudian berteriak kencang.

"Kak! Ayo, ke sini!" Ia berseru memanggilku dari sana, di atas bukit dengan tubuhnya yang hanya nampak setengah. "Aku menemukan harta karun!" serunya lantang dengan dua tangan yang sudah menempel di pipinya.

Mataku memicing tatkala menangkap sosok adikku yang membelakangi mentari. Hari jadi kian sore. Sang matahari tanpa aba-aba menjorok ke bagian barat; mulai bersembunyi. Aku beranjak dari duduk, berniat untuk menyusulnya sebelum hilang dari pandang.

Sembari berjalan cepat, aku berteriak, "Aku tahu kau bohong soal itu, Claude!" Aku mengejeknya tanpa sadar, pun gelak tawa kembali menyeruak ke telinga.

"Aku gak pernah bohong! Kau yang sering bohong padaku!" balasnya tak terima dari atas bukit. Claude mulai berlari menjauhiku yang hampir sampai, hingga sekarang tubuhnya telah hilang dari jarak pandang.

Cemas, kulajukan lariku, seraya kembali memekik, "Kakak juga gak pernah bohong, tahu!" jeritku bercanda. "Ayo, pulang saja!" Aku berteriak lagi, sampai pada akhirnya tenggorokanku menerima sialnya.

Kakiku akhirnya menepak pada atas bukit yang di bawahnya terdapat padang hijau penuh warna-warni. Kuangkat kedua tangan, kemudian kubentuk menjadi teropong. Mataku mulai menyipit mencari keberadaan Claude.

Terasa sekali jikalau matahari kian menyusut, memberi sensasi dingin menjelang malam yang menggelap. Sayangnya, mataku tak kunjung menangkap siluet adikku yang secara tiba-tiba hilang. Tanganku jatuh dengan sendirinya, lemas tak berdaya. Gumaman tak mengenakkan benak mulai berdatangan.

"Claude?" lirihku dengan wajah limpung. Aku berbalik ke arah belakang, tapi hasilnya masih sama saja. Sepi.

Namun, ketika tubuhku sekali lagi menghadap sang surya, terpampang badan pendek Claude yang berdiri di bawah sana. Ia menatapku tajam dengan manik biru yang menggelap.

Dia hanya bergeming bisu, menjadikan mataku membulat tertegun. Intuisiku yang berkata untuk tidak mendekati Claude semakin menguat. Keningku mulai berkerut bingung memandang dia di bawah sana-di mana tak ada suara yang terdengar selain deru napasku dan angin sepoi yang berlalu.

Sampai tiba waktunya Claude kembali menyahut, "Ingin rasanya kupotong lidahmu." Dia seketika datang dan berbisik tepat di telingaku. Orang di sampingku sekarang ini bukanlah Claude. Aku percaya itu.

Tiba-tiba semuanya berubah. Gelap seketika. Aku dan dia seperti sedang berada di sebuah ruang kosong jauh dari rumah. Aku tidak tahu mana lagi yang merupakan jalan untukku pulang. Netraku perih, seperti telah memandangi lampu kamar selama berjam-jam. Pula, bola mataku tak menangkap secercah cahaya apa pun hingga sekarang-seperti orang buta.

Bumi seperti sudah menjauh dari mataharinya. Bahkan, aku tak tahu apakah permukaan yang sedang kupijak saat ini adalah dunia yang kutahu. Sekarang aku mulai merindukan padang rumput yang biasa kami kunjungi bersama sang mentari yang selalu menemani Claude berlari.

Badanku hanya bisa berdiri kaku, merasakan siluet hitam di sisiku yang terus membisikkan sesuatu, di mana aku tahu itu merupakan hal yang buruk. Sekejap ia terdengar seperti Claude, adikku terkasih. Setelah beberapa detik, ia terdengar seperti orang dewasa yang terus mempertanyakan eksistensinya. Dia menggunakan nada bicara tak asing yang setiap harinya bertalun-talun di kepala.

"Kau licik, tapi tidak picik."

Apa yang dia katakan? Aku tidak mengerti. Licik dan picik. Keingintahuan mencari arti kata itu telah kuat di benakku. Tapi terkadang, aku takut dengan pengetahuan itu sendiri.

"Hei ... kuharap kau mati." Sosok itu berbisik, jelas sekali.

Dia bukan adikku. Namun, ini terdengar sangat familier di telinga. Berengseknya, tiada satu pun memori yang bersangkutan dengan sang pria. Suaranya kembali terdengar nyata. Terasa jika telingaku tidak lagi yang menjadi penangkap tuturannya, melainkan otakku.

Aku memejamkan mata erat. Demi kebebasan, aku rela untuk segera dihukum gantung.

Tak puas oleh pemandangan ruang hampa yang kulihat, kali ini napasku mulai terasa berat. Aku terbayang akan diriku yang mulai tercekat haus akan oksigen. Layaknya manusia yang telah dibuang ke angkasa tanpa peringatan, suara itu seketika menghilang dari pendengaran.

Aku ditinggal sendirian sembari mempertaruhkan nyawaku yang berada di ujung tanduk. Letih menyelimuti badan. Pilihan terakhir untukku ialah segera berserah diri. Setidaknya, aku akan terbebas dari kenangan indah yang kotor dengannya untuk selamanya. Sendirian, di tengah alam semesta.

***

ApatisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang