- Simon Curtis -
Sial, jika kau tak ingin aku kembali, kenapa kau harus bertingkah seperti itu?
Ini membingungkan aku sampai ke inti, karena aku tau kau menginginkannya
Oh, dan jika kau tidak menginginkannya, sesuatu yang penting bagiku,
Lalu kenapa kau memberikan lagi padaku?
Sayang, aku tau kau menginginkannya
Desak aku ke sudut gelap, dimana semua mata menghindari kita
Katakan padaku bagaimana aku memikatmu, aku mencintaimu dan menghinamu
Kembali ke keramaian dimana kau mengabaikan aku
Sesuatu belakangan ini membuatku gila
Ada hubungannya dengan bagaimana kau membuatku begini
Berjuang untuk mendapatkan perhatianmu
Memanggilmu hanya membawa kekhawatiran
================="Layani aku dengan benar, Sayang. Seperti biasanya." Vincent bertitah sembari berbaring di ranjang.
Ruby yang baru saja selesai mandi hanya bisa menelan ludah. Dia tak mungkin menolak atau rekaman akan disebarkan Vincent. Ia yakin Vincent akan melakukannya. Pria itu ternyata kejam, tidak seperti yang disangka. Omong kosong dia penuh kasih sayang pada Ruby.
Sang biduan melepaskan mantel mandinya, kemudian merangkak naik ke ranjang diiringi tatapan puas Vincent yang menunggu tenang. Seringai segera tercipta begitu Ruby menaiki perut Vincent.
"Nah, bukankah begini lebih enak, humm?" Vincent cengkeram dua pinggul Ruby, menggesek-gesekkan kedua kelamin mereka yang sudah tidak tertutup apapun. Ruby mengerang tertahan. "Kalau kau dari awal menerima, tentu tak mungkin kau sampai kuikat dan kucekoki obat segala."
Mata Ruby menyipit dikarenakan deraan libido yang merangkak naik. Tubuhnya mulai panas. Apakah Vincent memberi obat lagi saat dia mandi tadi? Sial! Ruby melirik ke gelas yang ia minum usai ia keluar dari kamar mandi. "Hngahh... Viinnhh..."
"Iya, sayang... ayo kita saling memadu asmara."
Vincent merundukkan tengkuk Ruby sembari lesakkan penis ke vagina dibarengi erangan Ruby. Namun erangan itu dibungkam cumbuan. Setelahnya, hanya ada hentakan dan desah saling berlomba. Mereka bergumul hingga tengah malam.
Jeda hanyalah ketika makan saja.Hari ke-7, Ruby sedang bermalasan di kursi balkon kamar hotel ditemani segelas coklat hangat. Memandang ke langit yang terbentang, kemudian menatap ke arah rumah-rumah dan sekelumit jalanan yang terlihat, ia sempat berpikir, 'Apakah aku terjun saja dari sini? Ahh, andai bunuh diri tidak menyakitkan. Sayang sekali aku pengecut. Harusnya aku mati saja.'.
"Sedang memikirkan apa?" Tiba-tiba Vincent sudah berada di sebelahnya, duduk di sandaran tangan kursi tempat Ruby bersantai. Wanita itu hanya menoleh lalu kembali pandangi langit. "Atau... siapa?"
"Humm?" Kali ini Ruby benar-benar menoleh karena bingung akan pertanyaan Vincent
"Kau sedang memikirkan siapa?" Sekarang Vincent memperjelas pertanyaannya.
"Calon suami keparatmu itu?"
Ruby lekas buang pandangan ke bawah. Sungguh tak nyaman. "Memikirkan bunuh diri."Tepp!
Pergelangan Ruby sudah dicekal erat oleh Vincent. "Jangan macam-macam Ruby!" Pria itu mendadak ketakutan jika Ruby benar melaksanakan apa yang diucap.
"Hakh!" la pun hempas lepas cengkeramannya tadi.
"Memangnya kau tak bisa batalkan saja pernikahan keparat itu?"
Sang biduan hela nafas pelan seraya usap pergelangan tangannya. "Aku tak mau mengecewakan dia."
"Tapi kau mengecewakan aku, Ru!"
"Itu karena kau jarang berkabar di London!"
"Lalu apakah itu kau jadikan alasan selingkuh dariku?"
"Kita tak pernah punya status apapun, Vin!"
"Persetan dengan status!" Vincent menjepit erat pipi Ruby menggunakan dua jari, lalu mencumbu paksa bibir Ruby dan akhirnya mendorong Ruby ke besi palang balkon. "Akan aku bunuh lelaki bangsat itu!"
Kejadian selanjutnya sudah bisa diduga Ruby, Vincent kembali memaksakan birahinya.
"Vin! Ini di balkon! Ini masih siang!"
"Persetan!" Vincent merundukkan tubuh Ruby membelakanginya, sementara dia mempersiapkan penisnya. Jubah kamar Ruby disibak bagian bawahnya, lalu sodokkan batang berurat itu dalam-dalam ke liang intim sang biduan.
"Arrghh! Vin, kau kasar!"
"Bukankah kau pernah menyukai yang begitu, heh! Jalang!"
Dua tangan Ruby meremas erat besi palang balkon ketika Vincent menghentaki miliknya hingga dia terhuyung maju-mundur. la menutup mata, berharap tak ada siapapun memergoki tingkah mereka.
Malamnya ketika Vincent memeluk Ruby dalam tidurnya, pria itu bergumam. "Aku tak tau apakah kita masih akan bisa bertemu lagi setelah ini, Ru." Mereka baru saja bergumul beberapa kali (atas paksaan Vincent)
Ruby yang membelakangi Vincent hanya terdiam, malas menanggapi. Baginya, Vincent sudah asing. Vincent-nya sudah mati. Vincent yang memeluk dia dari belakang adalah Vincent yang lain. Vincent monster.
"Ruby, apakah kau sudah tidur?" tanya Vincent seraya meremas kuat-kuat satu payudara Ruby.
"Aghh!" Ruby terpaksa menyuarakan pekikan kecil. "Vin, sakit!"
"Makanya lekas jawab!"
Ruby mendesah sebentar. "Hghh... Apakah kau sayang padaku, Vin?"
"Sangat!" jawab Vincent cepat. "Dan kau sudah tau itu."
"Kalau kau sayang, tentu kau takkan melakukan ini padaku. Kau pasti akan turut berbahagia jika aku bahagia." Ruby melanjutkan ucapannya dengan suara bergetar, bisa jadi dia sedang menahan tangis.
Vincent terdiam sekian puluh detik. Lantas menyahut. "Sepertinya kau salah memaknai rasa sayangku, Ru."
Kembali sang biduan mendesah. Bibirnya ia gigit ketika Vincent memainkan putingnya. "Sayang bukan berarti menyakiti, baik itu perasaan dan raga. Kau harus tau itu, Vin..."
"Kau tidak merasakan yang aku rasakan, Ruby. Mungkin karena sedari awal kau memang tidak punya rasa sayang apapun dan secuilpun padaku."
Ruby enggan menjawab. Itu adalah kalimat dilematis baginya. "Hatiku, aku yang tau."
"Ru, benarkah kau tak bisa batalkan pernikahanmu?" Vincent mulai lembut.
"Maaf, Vin, tak bisa. Aku sudah terlanjur berjanji dan aku bukan orang yang mudah ingkar. Itu harga diri untukku."
"Memangnya seperti apa dia? Ayo, ceritakan saja padaku."
"Tidak, Vin. Aku malas membahas tentang ini padamu."
"Besok kau langsung ke dia?"
"Ya,"
"Kuantar, yah!"
Jangan. Aku tak mau ada huru-hara tak
perlu."Vincent pun mengusap-usap tengkuk Ruby menggunakan ujung hidung. "Aku terlalu mencintaimu, Ruby. Sangat mencintaimu. Bahkan memujamu."
Kemudian, tangan yang bermain puting, kini merayap ke bawah, mengelus kewanitaan Ruby hingga wanita itu tak bisa menahan desahnya.
Ruby ingin merutuki dirinya, ingin menampar keras sang mulut yang tak bisa dikontrol. Bagaimana mungkin setelah dia diperkosa siang dan malam berhari-hari, dia masih bisa mendesah sekarang? Bagaimana mungkin dia yang esok sudah akan menikah, bisa mendesah ketika lelaki yang bukan merupakan calon suaminya menyentuh dia? Nyatanya, itu terjadi.
Vincent justru senang mendapati Ruby mulai melunak"Kita bercinta sekali lagi, yah malam ini. Aku janji akan pelan dan lembut. Akan kuperlakukan kau sebagai ratuku." Vincent hadapkan tubuh Ruby ke arahnya, kemudian menciumi wajah Ruby. Lantas, perlahan ia naik ke atas Ruby dan tenggelamkan secara lembut penisnya sehingga Ruby mendesah lebih dan lebih dari sebelumnya.
Vincent menepati janjinya. la memperlakukan Ruby sangat lembut. Sang biduan terbuai akan permainan Vincent.
Apakah memang seharusnya dia batalkan saja pernikahan esok? Bukankah Vincent telah memberinya semua yang ia butuh?
Tapi...==========
=======
Katakan bahwa kau menginginkan aku setiap hari
Bahwa kau menginginkan aku dalam segala hal
Kau membutuhkan aku Membuatku terjebak pada SUPER PSYCHO LOVE
- Super Psycho Love by Simon Curtis -.TBC
oh ya gaes menurut kalian rumor dating taennie itu real gak sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen Jennie
Fanfiction21+ Cinta itu buta dan tuli. Memang. Karena, jika cinta tidak buta dan tuli, maka itu bukan cinta, tapi LOGIKA." Vincent sudah merasakan berbagai jenis cinta, sekaligus berbagai jenis ranjang dan desahan, namun akhirnya dia tersudut pada sebuah ci...