Bab 1

19.4K 1K 49
                                    

Buat pembaca baru ada baiknya baca dulu cerita Dia yang Kembali Datang di Fizzo, biar tau tentang Binar.

Kalau ngga baca gimana? Ya ngga gimana-gimana, cuma di lapak sebelah kalian bisa lihat interaksi tipis-tipis tokoh yang ada di sini. Wkwkwkw

Siapa yang nunggu cerita Binar?

Jangan tanya lanjutannya, kapan, ya. Soalnya masih mau revisi cerita abangnya. 😉 tapi diusahakan secepatnya. Sekarang yang penasaran sama kisah Binar bisa taruh cerita ini di library kalian dulu. ☺

Jangan lupa follow juga, biar tahu jika ada pemberitahuan

Selamat membaca.



"Mbak, pengantinnya ngga berhenti nangis!”

Binar berdecak kesal mendengar berita yang disampaikan Nia, staf yang bertugas mendampingi calon pengantin perempuan yang sedang dimake-up. Mengangkat sedikit rok hitamnya, dia berjalan keluar ballroom sambil meremas handy talky. Tujuannya hanya satu, lantai sepuluh hotel bintang lima tempat berlangsungnya acara pernikahan saat ini.

Menunggu lift dengan tidak sabar, kakinya sampai bergerak-gerak saking paniknya. Dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi guna mencegah kekacauan.

“Mbak, gimana ini? Kita udah ajak bicara, tapi pengantinnya masih aja nangis.”

Mendekatkan handy talky pada bibirnya, Binar menarik napas sebelum bicara, “ini gue mau naik. Memangnya ngga ada keluarga atau temannya?”

“Ngga ada, mbak masak lupa pengantin ini ‘kan pendiem banget.”
Masuk dalam lift, Binar kembali membuka ingatannya tentang calon pengantin yang menggunakan jasa wedding planner di tempatnya bekerja. Dari awal dia memang merasa ada yang aneh, tidak tampak raut antusias di wajah keduanya.

Justru yang terlihat lebih semangat adalah ibu-ibu calon pengantin.
Bukan hanya itu, ketika mereka membuat grup chating untuk memudahkan komunikasi isinya hanya keluarga karena itulah tidak ada bridesmaid dan groomsmen dalam acara ini. Konsep pun semuanya usul para ibu, sedangkan yang akan menikah hanya mengiyakan tanpa protes.

Dia bisa bernapas lega saat lift berhenti, berjalan setengah berlari fokusnya tertuju pada kamar yang berada di ujung. Mengetuk pintu, senyum kecut terbit di bibirnya ketika melihat wajah murung Nia.

Sebenarnya apapun keputusan pengantin mereka harus menghargainya, tapi jika sampai ada pembatalan tim pun juga was-was. Mengingat beberapa kali perdebatan alot terjadi karena masalah uang. Ya, biasanya pihak keluarga ada yang tidak terima uang mereka hangus begitu saja sedangkan acara pernikahan tidak jadi dilaksanakan.

“Apa yang terjadi?” bisiknya seraya berjalan menuju dalam.

“Ngga tau, tadi ‘kan wajahnya udah mendung pas keluarganya ngumpul. Begitu kamar cuma ada kita-kita, langsung nangis. Mbak Kia sampai bingung, gimana make-upnya.”

Ganiya mengangguk, paham. Wajar saja Kia stres. Waktu akad sudah mepet, tapi pengantinnya tidak bisa diajak kerja sama. Seandainya nanti jika hasil kurang memuaskan, MUA lagi yang kena damprat.

Ah, kerja memang berat. Binar jadi berpikir jadi pengangguran saja, untuk jajan bisa minta ayah dan kakak-kakaknya.

Dia meringis ketika melihat Kia kini menatapnya putus asa sambil mengedikkan dagu, kode agar dia bicara dengan calon pengantin berkebaya putih tersebut. Berdeham untuk menguatkan diri, dia berjalan menuju meja rias menyebabkan orang-orang yang di sana berjalan mundur. Menyingkir.

“Mbak baik-baik saja?” tanya Binar yang duduk di kursi yang tadi ditempati Kia. Dia menghela napas ketika mendapat tanggapan sebuah gelengan dan air mata yang mengalir deras.

DEADLINE CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang