Chapter 02: Tell the Truth.

1.8K 222 18
                                    

Kalau diingat-ingat, sebenarnya gue lumayan sering sakit. Sering capek; aktivitas dikit aja biasanya juga serasa abis ngebangun candi, tapi sama sekali nggak pernah kebayang kalau ternyata dari kecil gue memang selemah itu. Konon katanya, gue dan Jake lahir lebih cepat dari yang seharusnya; kalau ayah bilang 'sih prematur, dan yang paling menghawatirkan dan sampai diwanti-wanti sama dokter nggak bakal selamat dan hidup riang gembira itu, gue.

Kebanyakan memang gitu,'kan; saling melengkapi. Di samping itu, tentu ayah dan bunda merasa terpukul dan ketakutan. Jelas, katanya itu pengalaman baru bagi mereka.

waktu itu, bunda ketakutan berujung baby blues yang sangat parah.

Singkat cerita, karena gue ini kalau ngejelasin sesuatu suka bikin orang-orang makin gak paham; bunda dan keluarga besar memutuskan untuk merawat gue dan Jake secara terpisah.

Ayah sama bunda fokus ngerawat gue yang katanya sangat rentan, semantara Jake dibawa ke Aussie dengan alasan dia lebih kuat.

Begitulah kira-kira, dan jangan harap gue ngerti.

Keputusan seperti itu susah sekali buat diterima sekalian datang dengan rasa bersalah; seolah-olah gue ini ngerebut hak adek gue sendiri.

Cuma ya, seperti lirik lagu Raisa; mau dikatakan apa lagi?

Mau dikatakan apa lagi juga udah percuma.

Jake menolak bertemu ketika sebenarnya dia sudah bisa pulang pergi dari Aussie ke sini. Tidak satupun diantara ayah, bunda, opa bahkan oma tau alasannya. Sampai-sampai gue sama sekali nggak pernah tau kalu punya kembaran.

Jake nggak prnah dibicarakan disetiap pembahasan yang melibatkan gue. How funny,but it is what it really is.

Dikemudian hari, Jake juga menolak semua barang yang coba ayah kirim dan segala bentuk komunikasi; termasuk berkunjung ke sini sama Opa dan Oma.

Tidak apa-apa, namanya juga kecewa. Gue pikir, semakin dia beranjak dewasa; semakin banyak juga hal yang dia asumsikan.

Seperti gue yang pelan-pelan berhenti berharap untuk punya adik, mungkin dia juga merasakan hal yang sama; berhenti berharap kalau dia punya keluarga.

Namun sekarang, tidak satupun juga di antara kami paham kenapa akhirnya dia mau pulang tanpa paksaan dari semua orang. Ayah bilang dia dihubungi dua hari sebelum kedatangan Jake dan mungkin hal-hal seperti itu tidak usah terlalu dipertanyakan, melainkan dicaritau perlahan-lahan.

Meski tidak dipungkiri kalau suasana rumah jadi lain dari biasanya, tapi gue ngerti kalau inilah yang namanya proses adaptasi. Bersakit-sakit dahulu, kalau besok masih sakit; ada baiknya kita sembelih dinosaurusnya Tito.

Oke, soal dinosaurus akan kita bahas dilain waktu. Untuk sekarang mungkin gue bakal fokus menjinakkan Jake, atau mungkin adakah saran buat PDKT yang tepat supaya kami berdua bisa jadi brother goals idamanmu itu? Tolong kasitau gue. Kalau berhasil, gue bakal kasi semua ceker ayam di mangkuk gue pas kita makan seblak bareng.

"Tau nggak tempat ambil seragam?" adalah bentuk kepedulian gue terhadap Jake dihari pertama kepindahannya.

"Ada denah." jawabnya cuek terus lanjut jalan, dia sama sekali tidak merasa tergganggu walau semua mata kayaknya cuma liat dia di koridor yang ramai.

Maklum lah, anak baru. Ganteng lagi, kan? kayak kembarannya ini.

"Oke. Kalau lo nyasar yaudah derita lo deh." Balas gue yang tentu saja mengundang dengusan kesal dari Jake.

"Cuma orang bodoh yang nyasar di bangunan kecil ini." katanya, lalu berjalan cepat-cepat supaya gue tertinggal.

Ya terserah, emang dasar si paling si paling. Nggak tau aja plang di koridor sekolah ini sukanya menyesatkan. Ntar gue ketawa aja kalau dia nyasar.

Meninggalkan Jake yang sepertinya menuju Tata Usaha, gue juga harus cepat-cepat menuju kelas untuk berburu contekan dihari yang indah ini.

"Eh, Arun ... Bagi Geografi dong."

"Bangsat! Nama bapak gue."

Wkwkwk.

Bertambah satu orang sumbu pendek; bakal adu mekanik kalau temenan sama Jake. Namanya Abizal, anaknya om Arun; dia pinter, tapi kadang males ngerjain tugas sejarah. Jadinya kita berter tugas kadang-kadang, sisanya sih gue yang suka jadi beban.

"Ya maap lah, nama lo mirip-mirip kayak nama bapak lo. Kan gue jadi keceplosan."

Alias sebenernya gue males manggil dia Abi, kayak nggak ada cocok-cocoknya sama sekali.

"Bilang aja lo nggak idup kalau gak buat dosa."

Walau marah-marah dia tetap melempar buku tugasnya yang gue salin dengan senang sekali. Hidup itu mudah kawan; kalau kita punya teman yang suportif.

Next, pelajaran sejarah giliran gue yang support Abi.

Tapi sebelum itu semua terjadi, seperinya kami harus mencari satu orang yang bisa supprort dipelajarn kimia. karena biasanya gue sama Abi berubah jadi kambing congek pas pak Arif menjelaskan atom dan kawan-kawannya.

"Perhatian!" 

Nah, baru gue omongin. Pak Arif datang ke kelas, dengan Jake yang mengikuti di belakang; Ternyata beneran nggak nyasar.

"Bulek, Jay." Bisik Abi tepat ditengkuk gue; minta digampar banget.

"Stt! katrok lo. Diem kalau ngga mau didamprat pak Arif."

Abi diam setelah berdecak, lalu satu kelas hening menyimak Jake yang memperkenalkan diri sebagai seseorang yang pindah dari Australia.

"Nama saya Jake. Pindahan dari Brisbane, hari ini hari pertama saya di sekolah ini. Mohon bantuannya semua." katanya dengan fasih meski masih terkesan kaku. Semua menyambut dengan tepuk tangan, ditamah suara riuh ank-anak yang lagi jam pelajaran Penjaskes di lapangan.

setelah keriuhan itu selesai dan Jake menempati bangku kosong didekat jendela, kelas dimulai seperti biasa. Hari ini mungkin hanya penjelasan materi dan tidak ada praktik di lab. 

Nice! karena gue jadi ngantuk banget ngedengrin suara pak Arif yang samar-samar kayak back sound sama dialog dalam anime; soft tapi nggak bisa dimengerti.

beberapa saat hening, sampai suara pecah beradu dengan suara teriakan anak-anak cewek ... Satu jendela pecah terkena bola dari lapangan. Untung ada tralis, jadi bolanya tidak sampai masuk ke dalam kelas.

Gue noleh ke jendela.

Sial!

baru ingat kalau Jake ada di sana.

Lengannya terkena pecahan kaca bersama dua siswa yang tepat duduknya di depan jendela yang pecah.

"Ya Tuhan, anak-anak sontoloyo itu!" Pak Arif mendumal sambil mengecek luka anak-anak yang terkena pecahan kaca.
"Ketu kelas?"

Gue cepat-cepat angkat tangan.

"Antar mereka ke UKS, lalu yang di dalam kelas tolong bersihin kacanya. Saya mau kasi edukasi kepada pemain-pemain bola itu, bisa?"

Gue menjawab dengan jelas. "bisa pak!"

Jake keliatan mengerutan kening,lalu mencabut serpihan kaca di lengannya dengan santai.

"Aduh goblok! jangan lo cabutin pake tangan gitu lah bro." Seru Abi yang kebetulan jiwa-jiwa PMR-nya bangkit disaat-saat seperti ini.

Gue setuju, lalu menginterupsi.

"Ayo ke UKS."

Lantas Jake mengikuti dalam diam, tapa protes ... untuk pertama kalinya.

***

Okeey, akhirya bisa update! mungkin kalian nemuin typo atau kurang-kurang hurup dalam satu kata, so so sawryy, keyboard laptopku sepertiny mulai lelah; kadang ga respon, hadeeh ...jadi, feel free buat koreksi yaaa. Have a great night!

Never be Like ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang