"Woi, bang!"
Gue noleh; celingak celinguk mencari sumber suara.
"Di sini!" kata suara yang lain dari seberang rumah.
Ternyata Juan sana Sean, tumben-tumbenan sepasang teletubis berkeliaran sampe sini.
"Heh! Ngapain pada manjat pagar."
Keduanya mana peduli, sekarang malah si Tito ikut-ikutan nangkring di pijakan pagar supaya keliatan.
"Kata tente, lo sama bang Jake aja di rumah. Mama suruh nginap di sini." Ucap Tito sambil hendak menggeser tubuhnya yang semula nggak kebagian space.
Gue mau nolak awalnya, tapi berdua sama Jake di rumah juga nggak terdengar menyenangkan. Apalagi setelah pertanyaan gue tadi pagi nggak digubris sama sekali; alamat gue disilent treatment, ini mah.
"Oke, boleh. Nanti kalau Jake keliatan, kalian ajak juga lah."
Mereka ngangguk paham terus turun dari pijakan pagar dengan kompak setelah gue juga masuk ke rumah; naik ke lantai atas menuju kamar setelah ngelempar tas ke kasur, tidak lupa rebahan dulu.
Ini punggung udah serasa jadi tulang punggung keluarga, alias pegel banget.
Tanpa ribet mikirin makan malam, gue mulai ngantuk ditambah saturday night milik Khalid mulai terdengar menjauh di telinga gue; yang artinya sebentar lagi pastinya gue udah ketiduran.
Klise, ketiduran pas pulang sekolah. Ntar semoga pas bangun gue nggak salah mengira kalau udah pagi lagi.
Nggak bisa dipungkiri, tidur sore setalah capek sama aktivitas seharian itu paling mantap. Bangun-bangun udah gelap, dan nggak lengkap kalau nggak zoning out dulu; alias ngumpulin nyawa yang kayaknya abis tamasya ke alam bazrah.
Setelah itu, gue masuk kamar mandi karena kebelet kencing. Abis itu minum air putih (bukan air keran ya, apalagi air kencing). Oke stop, karena mulai ke sana, mulai ke sini.
Maap, namanya juga baru bangun.
Biar bangun sepenuhnya, gue mandi aja deh.
Setelah selesai dan milih-milih baju, gue keluar kamar; rencananya mau ngajak Jake sekalian ke rumah Hesa. Sekali dua kali gue ketuk kamarnya, belum juga ada sautan dari dalam. Gue berniat buka pintunya, ternyata nggak bisa. Mungkin dikunci, pikir gue.
Jari-jari gue bergerak cepat buat nyari kontak Jake di handphone untuk memastikan, sampai satu notifikasi dari bang Hesa muncul.
Sini buruan, Jake udah di sini.
Begitulah isi pesannya. Tanpa menunggu lama, gue juga cepat-cepat bergegas ke sana. Sedikit memelankan langkah di anak tangga karena rumah gelap gulita. Ini Jake pergi nggak pake nyalain lampu, pasti.
Setelah memastikan rumah terkunci, gue lompat pagar aja deh; biar langsung sampe ke rumah Hesa. Setelah itu gue masuk aja tanpa basa-basi, anggap aja rumah sendiri.
Ingat ya, ini cuma dilakukan bagi orang yang punya orang dalam kayak gue. Dengan kata lain, cuma buat yang akrab-akrab aja. Kalo nggak, orang yang bertamu tanpa salam dan sapa itu pantas digebuk.
"semua udah di halaman belakang, Jay. Tumben datangnya belakangan."
Nah kan, tante Mel; mamanya bang Hesa nggak gebukin gue.
"Iya nih 'tan, Tadi ketiduran." Jawan gue seadanya sambil terkekeh pelan.
Tante Mel ikut terkekeh; jenaka seperti biasanya.
"Jangan suka tidur sore-sore ah, nggak baik."Gue mengangguk dengan senyum.
"Iya, nanti nggak diulangi kok.""Yaudah, gih sana; nyusul yang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Never be Like Them
أدب الهواةBunda bilang kalau mereka kembar, tapi anehnya Jay tak pernah bertemu dengan Jake sebelumnya. Saudaranya itu tidak asik, selalu hati-hati dan tidak peduli. Namun suatu hari, Jay dibuat mengerti alasan mengapa Jake datang kepada mereka. ©HimawariNa |...