Semalam adalah pertamakalinya gue merasa kayak remaja paling Oke sedunia.
Nongkrong, becanda, ngomongin banyak hal. Ada Jake juga yang keliatan baik-baik aja berbaur sama orang-orang baru; kontras dengan sikapnya di kelas.
Gue bisa maklum, selain komunikasinya yang belum lancar; mungkin Jake masih beradaptasi. Luka di tangannya waktu itu aja masih ada bekasnya.
Setelah malam yang panjang dan menyenangkan, semua nginap di rumah bang Hesa. Kita tidur berbaris di ruang tamu, kayak ikan asin yang dijemur.
Lanjut main uno sampai pagi; dengan muka Tito yang penuh coretan spidol di sana-sini sebagai bentuk penalti.
Jake diluar ekspektasi, dia paling beruntung; selalu menang disetiap round. Lalu disusul Sean yang ketawanya kencang banget pas bisa ngalahin Juan.
Lalu siangnya kami pulang untuk lanjut tidur.
Weekend yang sempurna.
Sampai-sampai gue nggak peduli kalau misalnya sepekan ke depan isinya hari senin semua.
Jake pun sama; dia kelihatan senang-senang aja walau gue liat ada bekas strip obat alergi di meja makan.
"lo, oke?"
Adalah isi pesan yang gue kirim dari lantai bawah, padahal gue bisa aja langsung naik ke atas dan bertanya.Nggak gue lakuin, takut Jakenya masih tidur.
Semenit berlalu, sampai lima menit, bahkan sampai tiga puluh menit; gue memutuskan buat mengetuk pintu kamar Jake dengan pelan.
Namun masih nggak ada jawaban, membuat gue duduk di balkon nggak jauh dari kamar kita berdua; diam-diam mengingat perasaan beberapa bulan yang lalu, ketika membayangkan betapa menakutkannya sendirian kalau ayah sama bunda nggak ada sama gue.
Terlalu jauh, sih ya. Cuma hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang pasti, mau bagaimanapun gue menolak faktanya.
Gue sendirian, nggak ada saudara.
Temen pasti ada, keluarga yang lain juga ada. Tapi at the end of the day, mereka akan pada porsinya masing-masing. Porsi yang memeperjelas kalau mereka teman dan saudara jauh; kita nggak sharing sempak dan alat makan yang sama.
Bisa dibilang, sendirian memimpin kehidupan adalah hal yang gue takuti.
Sekarang, ketika gue nggak lagi sendirian karena ada Jake, alasan gue merasa takut malah Jakenya sendiri.
Gue takut, alasan gue buat nggak takut itu kenapa-napa. Gue takut Jake nggak menganggap gue sebagai alasan dia untuk berani, gue takut dia tidak menempatkan gue dalam hidupnya; sebagaimana gue menempatkan dia.
Gue takut Jake nggak sarapan, nggak ada makanan yang dia suka, jadinya dia sakit. Sementara nggak ada yang bisa gue lakuin.
Begitu biasanya.
Persis sekarang, bahkan sampai sore dia nggak juga buka hp dan keluar kamar.
Karena itu, gue nekat ngedobrak pintu kamarnya yang sialan itu; handlenya rusak, dan nggak pernah diperbaiki sampai ayah berangkat pergi ke luar negeri, adalah sekian alasan yang ngebuat gue takut.
Takut kalau sendainya Jake merasa tidak dipertimbangkan dalam prioritas ayah.
Setelah puluhan kali mendobrak pintu yang akhirnya gue congkel pake linggis; akhirnya pintu kebuka.
Mata gue tertuju ke Jake yang tidur di atas kasur, tapi cukup aneh kalau dia nggak terusik sama keributan yang gue buat.
Gue simpan linggis kecil di tangan ke sembarang arah, lalu mendekat ke tempat tidur hanya untuk memastikan kalau posisi tidur Jake yang berantakan itu sepertinya karena dia kelelahan.
Semakin mendekat, gue bisa liat kalau wajahnya pucat, matanya terbuka sedikit dengan mulut yang meringis pelan.
"Jake?" paggil gue.
"hm?" dia bergumam lirih, sampai gue nggak bisa dengar jelas.
"lo kenapa?" gue bertanya lagi, dengan lembut; berusaha tenang. Tangan gue reflek aja menyibak surai Jake yang udah basah sama keringat dingin, lalu memeriksa suhu tubuhnya.
Panas, Jake demam.
"apanya yang sakit?"
Dia nggak jawab dan masih sibuk meringis.
Dengan hati-hati gue menyibak selimut. Dalam sekejap gue tau sumber sakitnya karena tangan Jake terlihat meremat ulu hati.
Gue menghela napas pelan lalu menghentikan tangannya yang semakin brutal; meminta Jake untuk melampiaskannya ke tangan gue aja. Sementara tangan kiri yang bebas merogoh kantong celana untuk menelfon ambulance karena gue masih tau diri untuk tidak menyetir, karena gue belum ada lisensi.
"Jake, please dengar gue. Kita ke rumah sakit ya?"
Dia menggeleng dengan semua sisa tenaganya.
"Gue telfon ambulance, tolong kali ini aja jangan ngeyel. Gue nggak tau nanganin lo gimana, oke?"
Kalo udah begini, gue juga mulai nggak sabar kan.
"No, please-"
Jake terbatuk, nggak mampu menyelesaikan kalimatnya, lalu sedetik kemudian memuntahkan isi perutnya dengan susah payah.
"Astaga Jake!"
Dia tidak mengubris, dan gue mijitin tengkuk serta mengelus punggungnya ketika dia keliatannya kesakitan setelah selesai muntah.
Kekacauan di lantai, biar gue pikirin nanti.
"Nggak! Nggak mau rumah sakit lagi." katanya keras kepala. Awalnya gue jengkel setengah mati, tapi melihat air mata keluar dari sudut matanya; di situ gue tau kalau memaksa bukan pilihan yang bagus sekarang.
Gue mengangguk, mengalah seperti menghibur Jake kecil yang ngelarang gue mau main sama temen.
"iya, iya. Enggak. Tapi kalau gue telpon dokter boleh, ya? Biar perut lo nggak sakit lagi."
Karena gue nggak tau apa-apa soal alergi, woy! Gue panik! Tapi harus tetap tenang.
Jake mengangguk menyetujui, dan gue pun langsung menelpon dokter untuk datang ke rumah.
Setelah selesai; sambil menunggu, gue kembali mengusap keringat dingin di kening Jake, mengacak-acak laci nakas untuk mencari P3K yang biasanya bunda sediakan di kamar masing-masing.
Setelah menemukan minyak kayu putih, gue kembali mendekati ranjang. Menyibak setengah baju yang Jake gunakan.
Gue terdiam.
Bukan karena gue bingung cara pake minyak kayu putih itu ditelen apa diolesin, tapi ... Ada bekas luka jaitan di perut sebelah kanan jake; memanjang dan terlihat menyakitkan.
Otak gue nggak sempat mencerna atau berasumsi tentang apa yang pernah terjadi, karena Jake kembali muntah dan melemas di lengan gue.
Dengan cepat bercampur rasa panik, nggak ada pilihan lain selain menelpon ambulance.
***
Hehehe, lagi off day sebelum ujian hari senin :) apa kabar guys? Semoga baik-baik yaaaaaa. Ga janji deh kapan up lagi, tapi see you ASAP! *bersembunyi di batang pisang.
xixixixi
KAMU SEDANG MEMBACA
Never be Like Them
FanfictionBunda bilang kalau mereka kembar, tapi anehnya Jay tak pernah bertemu dengan Jake sebelumnya. Saudaranya itu tidak asik, selalu hati-hati dan tidak peduli. Namun suatu hari, Jay dibuat mengerti alasan mengapa Jake datang kepada mereka. ©HimawariNa |...