2

1 0 0
                                    

2005

"Liat Lika?", Jaris berlari sambil mencari sahabatnya itu. Hanya gelengan yang diterima. Sejak penguman kelulusan di aula Lika tidak terlihat batang hidungnya.

"Liat Lika gak?", lagi - lagi hanya gelengan. Kemana lagi dia pergi. Seluruh sekolah sudah satu persatu dicarinya.

"Minum dulu", Arya dari samping menyodorkan air mineral.

"Lika di Bude Sum", lanjutnya. Baru ingin melangkahkan kaki Arya menahan Jaris.

"Biarin sendiri dulu", Jaris pun duduk kembali.

"Randu kayanya lanjut sekolah ke Bandung. Adiknya masih masa pemulihan dan dokter keluarga mereka di Bandung", Arya melanjutkan cerita, Jaris hanya diam mendengarkan.

"Lo bertiga bikin gue pusing, kita masih SMP tapi percintaan kalian rumit gini, dan bodohnya gue ada di cerita ini. Harusnya SMP tuh masih cinta monyet, ini lo bertiga malah kaya monyet", Arya mengusak rambutnya, ikut frustasi.

"Lo gak tau? Banyak orang di dunia ini yang justru nikahnya sama temen SMP. Siapa tau diantara kita bertiga ada jodoh, entah gue sama Lika, entah Randu sama Lika, yang jelas gue gak mungkin sama Randu. Gue masih normal", Jaris menenggak air terakhir di botol.

"Mau ikut?", ajaknya

"Jangan dulu, biarin sendiri dulu ngeyel banget, heran gue. Biarin dulu anaknya masih main sama cucunya bude Sum", Arya masih melarang.

"Gue beneran heran, kenapa Randu gak pamit, bahkan ke kita pun gak pamit. Apa susahnya si pamit", entah kenapa Arya juga jadi tersulut.

"Kalau suka bilang, gak suka juga bilang. Lika sering uring - uringan gara - gara sikapnya Randu. Lo juga, kalau suka ya maju. Jangan cuma jadi second lead. Lo tau gak kalau second lead selalu jadi sad boy?", Kalau Arya udah ngomong panjang lebar artinya lagi mode serius.

Arya anak Pak Rahmat, penjual toko kelontong terbesar di kecamatan. Ngomongnya pelit, diajak ngomong aja kadang cuma jawab iya atau enggak atau gak tau. Tapi kalau udah mulai panjang lebar kali tinggi gini ngomongnya, artinya dia serius.

"Gue tau kita masih bocil, bentar lagi juga mungkin pada lupa soal cinta karena udah sibuk sama sekolah dan ekskul lainnya, tapi jangan gini juga. Gue yang liat capek", Jaris masih membiarkan Arya bicara, ingat jarang Arya begini.

"Jangan lupa kita satu sekolah lagi nanti, gue pasti bakal liat kalian berdua terus di hidup gue. Gak mungkin enggak. Lika temen gue, lo juga, Randu juga. Tapi plis, gue capek", Jaris justru tertawa tapi langsung diam begitu dihadiahi tatapan maut.

"Gue gak pernah liat lo gini, Ar. For the first time in my life since TK gak sih. Ini bener Arya anak Pak Rahmat kan?", Jaris masih bisa bercanda.

"Udah lah, terserah kalian aja", Arya kembali diam

"Apanya yang terserah?", perempuan yang sejak tadi dicari Jaris muncul. Mukanya tampak biasa saja, tapi Jaris bisa melihat semuanya.

"Terserah katanya mau temenan sama Arya lagi atau engga, kan kita satu sekolah lagi", Jaris yang menjawab. Arya masih asik dengan pikirannya. Ingin rasanya memeluk perempuan di hadapannya yang berusaha terlihat tegar ini. Tapi siapa pun pasti tahu ada bekas air mata di matanya.

Setelah pengumuman di aula selesai, Arya diam - diam mengikuti Lika yang diam - diam mengikuti Randu keluar aula. Sementara Jaris masih harus menemui guru sebagai perwakilan kelas tiga. Lika hanya diam mengamati Randu yang pergi semakin jauh lalu masuk ke mobil yang sudah menunggunya di depan sekolah. Pergi begitu saja, tanpa melihat ke belakang padahal Arya yakin kalau Randu melihat Lika mengikutinya.

Kita semua tau Kira-adik Randu kecelakaan dan sampai sekarang masih menjalani pengobatan. Kabar terakhir mereka semua akan pergi ke Bandung, tidak hanya pergi tapi pindah untuk kesembuhan Kira. Arya lebih banyak bicara dengan Randu, tapi Jaris pun sebenarnya orang terdekat Randu.

Lika hanya memandang dari kejauhan sampai mobil Randu tak terlihat. Getaran di bahunya mengisyaratkan kalau Lika tidak baik - baik saja. Randu seharian ini bahkan diam saja. Selalu mengalihkan pandangan saat Lika menatapnya.

"Randu bego emang. Udah lah gue capek", Arya pergi sambil menggerutu menyisakan Lika dan Jaris yang membiarkannya berjalan menjauh.

"Ca, Bakso yuk?", seulas senyum ada di wajahnya

"Yuk"

Lika si pecinta bakso, mungkin cuma bakso yang bisa buat dia sedikit melupakan hari ini, mungkin.

........

Lika

"Ran..", beberapa jam lalu menyebut namanya saja tak tuntas. Aku melihat punggung yang semakin menjauh. Banyak hal bekecamuk dikepalaku. Randu pergi, tanpa pamit. Aku salah apa? Apa semua karena Kira dia jadi pergi terburu - buru tanpa mengucapkan apapun? Tapi kenapa? Sekadar mengucapkan sampai jumpa lagi atau bahkan selamat tinggal pun tak sempat.

Cinta monyet yang dirasakan Lika memang benar seperti cinta monyet, rusuh. Kata banyak orang cinta pertama biasanya gagal, jarang berhasilnya. Ya mungkin memang seperti itu kodratnya, coba lagi dan lagi. Masih banyak waktu untuk mencoba, masih smp, anak bau kencur.

"Dimakan dulu, nanti dingin", Jaris membuyarkan lamunan juga pikiranku yang mulai meracau di kepala. Aku lupa ada Jaris di depanku.

Bakso pakde biasanya menjadi penggugah selera seberapa badmoodnya aku, tapi kali ini bahkan rasa baksonya saja hambar. Ingin menelan sulit sekali rasanya.

"Mau ke Bandung?", tanya Jaris tiba - tiba, aku hanya mendongak.

"Kalau dia gak pamitan, mungkin kamu yang mau pamitan?", Jaris ya Jaris. Tahu meski aku tak memberi tahu. Aku hanya menggeleng.

"Gak usah, izinya apa sama bunda, sama abang juga", Jaris menukar mangkuk bakso yang sudah dia iris

"Tukeran, kasian bakso kamu gak salah tapi di cakcak gitu", setelahnya Jaris memasukan bakso yang sudah tak berwujud itu ke mulutnya.

Ya, lagi - lagi. Jaris ya Jaris.

....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(another) youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang