Hari ini para siswa dan siswi baru akan menentukan pilihannya. Ekstrakulikuler apa yang akan mereka ikuti setelah kemarin para perwakilan ekstrakurikuler mengadakan pengumuman sekaligus demo di lapangan basket. Mereka begitu antusias ingin segera mendaftarkan diri agar menjadi salah satu anggota ekstrakurikuler dari empat ekstrakurikuler yang ada.
Dari pertama masuk gerbang hingga tiba di dalam kelas hanya obrolan seputar ekskul yang terdengar. Contohnya di kelasku. Ada yang ingin masuk PMR, ada yang ingin masuk PKS, ada yang ingin masuk Pramuka, dan ada yang ingin masuk basket. Alasannya pun beragam. Ada yang ingin menyalurkan hobi, ada yang ingin memperluas ilmu seputar kesehatan karena punya cita-cita ingin menjadi perawat, ada yang hanya sekedar ikut-ikutan, dan ada yang hanya karena punya incaran di ekskul tersebut. Contohnya aku. Aku akan mendaftarkan diri sebagai anggota Pramuka. Bukan. Bukan karena menyukai haiking. Bukan karena menyukai kemping. Apalagi menyukai pelajaran baris berbaris. Betul. Tujuanku satu. Hanya ingin mengikuti jejak Kak Fajar.
"Wid, jadi kan?" tanyaku sambil merangkul pundaknya.
"Sorry, Fi. Aku gak jadi daftar Pramuka," jawabnya lesu. "Orang tuaku gak ngasih izin. Mereka gak mau kalo nanti aku ikut kemah. Sedangkan di Pramuka kan pasti banyak kemah. Dan masa iya aku gak ikut?" jelasnya panjang lebar.
"Deketin Kak Harry gagal dong?" tanyaku lagi.
"Gapapa, kan masih ada cara lain," jawabnya dengan diiringi senyuman. Wida itu emang anak baik. Dia selalu menuruti perintah orang tuanya. Berbanding terbalik denganku.
"Hmm, oke deh."
"Sorry, ya."
"Gapapa. Kalem aja. Kan masih ada si Dodit. Entar aku bareng dia aja."
Meskipun sering kali adu mulut tercipta diantara aku dan Dodit, tapi nggak pernah ada kata musuhan. Bahkan kita selalu kompak dalam memilih sesuatu. Contohnya sekarang. Kita sama-sama memilih Pramuka. Ya, walaupun tujuan kita berbeda.
Oh, ya. Aku sampai lupa ngenalin siapa, sih, Dodit ini. Dodit adalah temenku dari SD. Dia tuh nggak tinggi, kulitnya nggak putih, mukanya bulat, dan salah satu gigi depannya tuh patah sebelah, tapi meskipun begitu, dia tuh pintar lho. Selalu juara pertama di kelas. Rajin ibadah pula.
Ah, gara-gara keasyikan ngenalin si Dodit, sampai lupa kalau aku belum ngerjain PR. Uh, dasar aku. Mana bentar lagi masuk pula.
"Wid, aku masuk dulu, ya," ucapku sambil menepuk pundaknya.
"Tumben? Padahal Kak Fajar masih di luar lho," ucap Wida sambil melirik ke arah kelas sembilan di mana Kak Fajar tengah berkumpul dengan teman-temannya.
"Ada yang lebih urgen dari liat Kak Fajar," timpalku yang langsung masuk tanpa menunggu persetujuan Wida.
Sesampainya di kelas, aku langsung mengeluarkan LKS yang bertuliskan PLH dari dalam tas. Setelah itu, kuambil LKS PLH yang tergeletak di atas meja sebelah. Tidak butuh waktu lama untukku memindahkan semua jawaban dari LKS Dodit ke LKS punyaku. Sedangkan sang empu LKS hanya menggelengkan kepala ketika kukembalikan LKS-nya. Dodit memang sudah tidak asing dengan tingkahku. Kita selalu saling contek saat lupa mengerjakan PR. Tapi kebanyakan aku, sih, yang nyontek. Makanya aku bersyukur banget Dodit tidak jadi pergi ke Kalimantan dan memilih satu sekolah lagi denganku. Bahkan takdir pun menyatukan kita dalam satu kelas kembali.
"Woy! woy! Guru datang! guru datang!" teriak salah satu teman sekelas sambil memberi isyarat agar kita semua segera duduk dengan rapi. Seketika kupejamkan mata dan kuhembuskan napas pelan sambil mengelus dada–lega karena PR sudah dikerjakan sebelum guru datang. Jika tidak, habislah aku. Bisa-bisa LKS-ku raib di tangan Bu Rida seperti LKS milik Farid yang dirobek tanpa belas kasihan.
"Pagi anak-anak," sapa Bu Rida tanpa senyuman.
"Pagi, Bu ...," sahut anak-anak kompak.
"Baik anak-anak, seperti rencana kita pada minggu kemarin, hari ini kita akan belajar di luar kelas. Maka dari itu, ibu minta pada kalian agar tetep tertib saat nanti kita keliling sekolah ini. Paham?"
Owaw! Kita bakalan keliling sekolah? Artinya bakal ngelewatin kelas Kak Fajar dong?
"Paham, Bu ...."
"Baik jika kalian sudah paham. Kalau begitu, ayo kita keluar."
Tanpa A B C D, aku langsung berdiri lalu menarik tangan Wida dan Tata. Raut wajah mereka pun sama dengan raut wajahku. Gembira.
Ketika yang lain sibuk mencatat apa yang diterangkan guru mengenai jenis tanaman dan khasiatnya, aku malah sibuk memikirkan kapan akan melewati kelas Kak Fajar. Hingga tarikan dengan cengkraman kuat pun menarik paksa tanganku.
"Mau belajar apa bengong, hah?" bisik Dodit dengan nada serius.
"Sakit kuyuk," perotesku sambil mengibaskan tangan.
"Buruan catet. Kayak gak tau aja sifat Bu Rida," ucapnya lebih serius.
"Baik, baik," balasku dengan nada mengejek.
"Sudah kalian catat semua?" tanya Bu Rida tiba-tiba. Semua menjawab sudah. Sedangkan aku hanya celingukan, bingung. Bukuku masih kosong. Bagaimana ini? Emang berapa tumbuhan yang tadi disebutkan? Yang aku ingat hanya dua. "Kalau begitu minggu depan kalian harus bawa salah satu tanaman dari keenam tanaman tadi. Satu orang cukup satu saja," tambahnya.
Hah? Enam?
"Baik, pelajaran hari ini sudah cukup sampai di sini. Sekarang kita kembali ke kelas."
Satu persatu anak-anak meninggalkan taman belakang sekolah. Sedangkan aku masih diam mematung kebingungan. Makin bingung ketika Dodit menyerahkan buku catatannya.
1) kalanchoe pinnata
2) sansevieria trifasciata
3) curcuma longa linnBaru baca tiga nomor aja udah bikin aku nelen ludah. Ya ampun. Jangankan untuk menghafal satu persatu nama-nama tumbuhan itu, nyebutnya aja susah banget.
"Ini," serahku memberikan buku catatan milik Dodit. "Besok atau lusa aja aku nyalinnya." Setelah itu aku berlari mengejar Wida dan Tata yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan taman.
"Wid, Ta, tunggu," teriakku. Tapi mereka malah mempercepat langkah seolah tidak mendengar teriakanku.
****
Uwaw! Waktu yang ditunggu pun akhirnya tiba. Dengan penuh semangat aku menggandeng tangan Dodit agar langkahnya lebih cepat.
"Bisa pelan dikit gak, sih, Fi?"
"Gak bisa!"
"Tapi i–"
"Diem! Gak usah banyak omong. Pokoknya kita harus masuk ruangan lebih awal." Aku terus menyeret Dodit. Sedangkan Dodit seperti berusaha mengimbangi langkahku. Bahkan sesampainya ruangan, napasnya tersengal-sengal. Tapi mau gimana lagi? Aku kan pengen dapet tempat duduk paling depan. Jadi, maafin aku ya, Dit.
"Buruan Dit masuk. Mumpung bangku yang itu," tunjukku ke arah bangku yang berada di pojok kanan depan, "belum ada yang ngisi." Dodit memutar bola mata kesal. Tapi bodo amat.
Sepuluh menit berlalu. Bahkan peserta yang akan mendaftarkan diri menjadi anggota Pramuka pun baru ada aku dan Dodit. Sedangkan kelas sebelah sudah penuh. Bahkan para kakak kelas sudah memasuki ruangan. Tapi aku nggak tahu itu ekskul apa. Tapi tunggu! Kak Harry masuk ke sana. Berarti kita salah masuk kelas dong?
Ah, daripada banyak mikir, lebih baik kutarik lagi tangan Dodit menuju kelas sebelah.
"Permisi ...," kataku sambil mengetuk pintu.
"Masuk," ucap seseorang dari dalam. Mendengar itu, aku langsung mendorong Dodit agar masuk lebih dulu. Tapi kali ini tubuh Dodit begitu susah didorong. Akhirnya aku memberanikan diri masuk terlebih dahulu.
"Maaf Kak kita terlambat."
"Oke gapapa. Langsung aja kalian duduk di bangku yang masih kosong." Aku dan Dodit pun duduk di bangku paling belakang.
Lima menit kemudian, satu persatu kakak kelas maju ke depan untuk memperkenalkan diri juga jabatan mereka di PMR. Tunggu! PMR?
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeline
Teen FictionFifi gadis ABG yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama baru saja merasakan apa yang namanya cinta. Fifi jatuh hati pada kakak kelasnya saat terakhir MOPD. Sampai-sampai dia bertekad mengikuti ekstrakurikuler yang pujaan hatinya itu ikuti...