Bab 5

1 1 0
                                    

Aku menatap nanar tempat di mana Kak Fajar dan teman-temannya berada. Mereka tertawa bahagia. Tambah-tambah saat Kak Sinsin dan rombongannya melewati mereka. Kebahagiaan itu jelas terpancar dari wajahnya.

Aku kembali merenungi omongan Dodit. Benarkah jika aku memaksa masuk Pramuka, itu sama saja aku menjatuhkan harga diriku? Tapi kalau nggak, perjuanganku selama ini sia-sia dong?

Perlahan kuarahkan kembali pandanganku ke arah kelas sembilan. Sosok yang sama masih berdiri di sana. Ekspresi konyolnya membuatku jatuh cinta setengah mati. Sayangnya, tidak sekalipun ekspresi itu ditujukan kepadaku. Selama enam bulan ini hanya ekspresi dingin yang selalu aku terima darinya. Aku menunduk frustasi mendapati kebenaran kata-kata Dodit. Hati kecilku juga tahu kenyataan  ini. Tapi entah kenapa begitu sulit mengikuti permintaannya.

Hatiku benar-benar kalut saat ini. Kedua sahabatku tiba-tiba menjauh tanpa alasan yang jelas. Lalu kudapati kenyataan bahwa Kak Fajar dan Kak Sinsin sudah resmi pacaran. Dodit? Aku dan Dodit belum baikan. Dan ini kali pertama aku marahan sama dia dengan kurun waktu cukup lama.

"Fi, ayok. Kata Dodit kamu mau masuk Pramuka kan? Yuk bareng sama Kakak?"

Aku kaget setengah mati mendengar ucapan Kak Sinsin yang secara tiba-tiba mengajakku masuk ke dalam ruangan. Bahkan aku nggak tahu sejak kapan Kak Sinsin ada di sampingk? Bisa-bisanya juga Dodit memberi tahu Kak Sinsin.

"Kok malah bengong? Ayok ... Dodit udah ada di dalam lho."

Makin kaget lagi kalau ternyata Dodit pun masuk ke Pramuka.

"Apa, Kak? Dodit ada di dalam?" Aku coba memastikan bahwa yang aku dengar itu nggak salah dengar.

"Iya. Yuk makanya masuk. Nunggunya di dalam aja. Bentar lagi Pratama datang kok."

"Nggak, Kak. Dodit boong. Aku nggak mau masuk Pramuka," ucapku bohong. "Mmm, aku di sini bukan mau masuk ke ruangan ini. Aku cuma lewat aja. Kalau gitu aku permisi ya. Mau ke perpustakaan dulu," tambahku yang langsung lari ke arah perpustakaan tanpa menunggu jawaban Kak Sinsin.

Di dalam perpustakaan, aku merenung. Rasanya nggak tega merebut Kak Fajar dari Kak Sinsin. Kak Sinsin orang baik. Terus aku juga sadar diri. Kak Sinsin cantik, sedangkan aku nggak. Prestasinya bukan hanya dalam bidang akademik, tapi non akademik pun banyak.

"Fi, udah dapet belum bukunya? Kalau belum bapak bantu cariin. Kamu butuh buku apa? Fi?"

"Hah! Astaga. Apa, Pak?"

"Ya ampun ... Fifi, Fifi. Mau cari buku apa bengong?"

Aku benar-benar kaget saat Pak Edi melontarkan pertanyaan itu. Apa iya aku bengong?

"Cari buku, Pak," jawabku sambil nyengir.

"Kalau mau cari buku, buruan. Perpustakaan mau Bapak kunci. Bapak mau rapat soalnya."

"Iya bentar, Pak."

"Emang cari buku apa? Biar Bapak bantu."

"Nggak usah, Pak. Udah dapet, kok," teriakku sambil mengacungkan buku yang aku ambil secara acak.

"Ya udah kalau gitu."

"Iya, Pak. Fifi permisi dulu ya. O, ya. Fifi pinjam dulu bukunya.

Iya. Jaga baik-baik. Jangan sampai robek."

"Siap." Setelah itu aku langsung berlari keluar dari perpustakaan.

Saat di jalan menuju kelas, secara tidak sengaja aku berpapasan dengan Dodit. Sikapnya dingin. Nggak seperti biasanya yang selalu melontarkan ejekan ataupun berbuat usil. Rasanya lebih sakit daripada mengetahui bahwa Kak Fajar sudah mempunyai pacar. Rasanya ingin sekali bertanya, tapi gengsi. Akhirnya kupercepat langkah.

Enggak seperti biasanya. Suasana kelas terasa sangat dingin dan sunyi. Padahal cuaca di luar begitu panas dan kelas pun sedang dalam keadaan ramai. Bahkan udah satu minggu ini hari-hariku di sekolah terasa hambar. Padahal biasanya aku lebih betah berlama-lama di sekolah daripada di rumah. Alasannya satu, bisa ketawa bareng temen-temen. Tapi sekarang rasanya pengen cepet pulang dan tidur seharian.

"Fi, kenapa gak jadi masuk Pramuka?"

Mendengar pertanyaan itu rasanya pengen terbang, lalu menari, bernyanyi, dan berteriak. Gimana nggak? Tiba-tiba Dodit melontarkan pertanyaan itu. Ya walaupun dengan nada datar, tapi ngapapa, deh.

"Gapapa," jawabku yang berusaha memberikan kesan dingin.

"Padahal gue udah ngomong ke Kak Fajar kalau lo–"

"Hah?! Apa?! Ngomong apa?"

"Iya kalo lo mau masuk."

"Oh kirain gue."

"Apa?"

"Nggak."

"Eh, Dit. Entar pulang gue mau ngomong sesuatu. Lo nggak ada acara kan?"

"Ngomong apa? Ngomong aja di sini, sekarang."

"Nanti aja deh."

"Oh," seru Dodit pelan.

***

Waktu begitu cepat berlalu. Hari ini adalah hari pelepasan siswa dan siswi kelas sembilan. Yang artinya setelah hari ini aku nggak akan melihat Kak Fajar lagi. Dan seperti ucapanku pada Dodit waktu itu, aku akan tetap mencintai Kak Fajar sampai batas waktu yang nggak ditentukan. Aku pun akan bersikap biasa jika bertemu dengan Kak Fajar. Dan kebetulan hari ini, selama dua jam, aku akan terus bersamanya. Bukan tanpa alasan aku hadir di acara perpisahan ini, tapi aku adalah salah satu anggota pasukan paduan suara yang akan meramaikan acara tersebut.

Satu persatu acara dimulai. Hingga kini acara puncak pun tiba. Perwakilan dari kelas sembilan sudah maju ke depan untuk meminta maaf kepada para guru sekaligus meminta doa untuk kelancaran pendidikan di SMA nanti. Acara pun berjalan dengan begitu khitmat. Suasana makin melow setelah alunan gamelan mengiringi prosesi sungkeman tersebut. Bahkan banyak para siswi yang meneteskan air mata. Sedangkan para paduan suara mulai menyanyikan lagu paturaitineng setelah seluruh siswa dan siswi maju ke depan untuk silih berganti melakukan sungkeman.

Di sebelah kiri podium, Dodit terus melambaikan tangan ke arahku berusaha memberikan isyarat agar aku tetap bersikap biasa dan fokus bernyanyi jika nanti Kak Fajar berdiri di sampingku menunggu giliran sungkem.

Tapi nggak. Aku nggak bisa. Jantung benar-benar berdetak kencang. Fokusku juga berkurang. Sampai-sampai aku lupa lirik. Gila! Ini benar-benar gila. Karisma Kak Fajar benar-benar menghipnotisku. Saat ini ketampanannya naik sepuluh kali lipat dari biasanya. Kak Fajar kelihatan seperti sudah dewasa mengenakan kemeja putih yang dibalut jas hitam lalu dipadukan dengan celana katun hitam dan juga sepatu vans  hitam. Rasanya aku ingin pingsan di sampingnya, lalu digendong seperti waktu itu. Ya, saat aku pingsan di lapangan, aku digendong Kak Fajar. Itu kata Dodit. Dodit yang memberitahuku setelah kita baikan lagi.

"Fi, sini," panggil Dodit setelah acara selesai.

"Apa? Kangen lo sama gue?"

"Idih. PD banget lo."

"Terus ada apa?"

"Nggak. Gak jadi. Males gue ngomongnya."

"GJ lo."

Perlahan hubunganku dengan Dodit kembali membaik. Tapi nggak dengan kedua sahabatku, Winda dan Tata. Kita semakin renggang. Kabarnya, sih, si Tata cemburu karena aku deket sama Dodit. Padahal kita cuma temenan lho. Nggak lebih. Tapi bodo amat sih.

"Eh, Fi," panggil Dodit lagi.

"Apa sih lo hah?!" sergahku sambil berkacak pinggang.

"Cuma mau bilang, jangan lupa janji lo."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TimelineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang