2 - Ramai

37 7 10
                                    

🔅Met Reading 🔅

•••

Seorang pria sedang menikmati secangkir kopi sambil mengamati kesibukan jalanan di bawah sana dari lantai di mana ruangannya berada, dia Juna.

Narmada Juna Zanurio.

Anak tunggal dari pasangan Herdanu Zanurio dan Melika Tamara. Juna mengikuti jejak papanya yang akrab dengan segala peralatan medis. Tanpa rasa bimbang, ia begitu gigih meraih gelar spesialis kandungan yang menjadi pilihannya. Juna masih mengingat perasaan itu. Perasaan ketika tangannya untuk pertama kali membantu dokter Rendra dalam proses kelahiran bayi laki-laki saat menjalani koas dulu. Jiwanya yang seolah-olah kering, merasakan getaran akan kehidupan baru yang menangis kencang di antara derai kebahagiaan yang mengisi ruang.

Dari sanalah Juna memutuskan untuk menjadi dokter kandungan. Sang papa yang memang menginginkan Juna meneruskan garis profesinya, tentu sangat mendukung. Tidak menyangka keinginannya terwujud, tanpa harus mengatakan secara gamblang pada putranya. Sengaja memang, Papa Danu ingin Juna menemukan alasan kuat yang dapat mengukuhkan hati bila nanti menemui keletihan yang melanda dalam menjalankan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dia percaya putranya tidak akan mengecewakan.

Terbukti, Juna berhasil menemukan hal yang menjadi alasan tepat itu. Pegangan untuk ia ingat sampai kapan pun, bahwa apa yang ia jalani bukan sekedar menyelesaikan tanggung jawab.

"Juna enggak bisa mengutarakan secara tersurat. Tapi, ketika Juna memanggil memori itu maka semua akan baik-baik aja, Pah, Mah," ucap anaknya kala itu.

Ah, Zanurio yang satu itu, tampak tak bercelah. Tampan, mapan, dermawan. Segala hal baik dikarungi, entah apa yang membuat dia nyaris sempurna. Si idola di rumah sakit tempatnya bekerja, si kebanggaan Papa Danu dan Mama Melika.

Hanya saja, ada satu hal yang membuat orangtua lelaki itu tidak tenang. Lebih tepatnya, Mama Melika yang merasa awas dengan sikap Juna yang dinilai terlalu tenang. Sedangkan umur anaknya sudah hampir 32 tahun. Dulu saat Mama Melika berumur segitu, dirinya sedang bermain dengan Juna yang berumur 8 tahun, sangat lincah dan kerap aktif menyapa dan bertanya. Menggemaskan sekali.

Sekarang susah sekali membuat sang putra bermanja-manja dengan Mama Melika. Harus dipaksa baru dia mau. Jadi 'kan keinginannya untuk punya cucu semakin besar, karena Juna sudah tidak bisa diuyel-uyel lagi.

Itulah yang terkadang membuat Juna pening, seperti sekarang. Mamanya sudah sangat mendesak meminta menantu dan cucu padanya.

Menantu dan cucu.

Lihat 'kan, tidak tanggung-tanggung langsung menantu dan cucu.

"Kamu dengar mama gak sih, Juna?" ujar Mama Melika yang mulai merasa gemas lantaran sang anak hanya tersenyum tanpa menanggapi permintaannya.

Membalikkan badan, langkah Juna terayun meninggalkan pemandangan kesibukan jalan yang tadi menjadi fokusnya. Secangkir kopi masih setia berada di genggaman jemarinya, lengkap dengan senyuman manis yang terpatri di wajah. "Aku dengar, Ma."

Setelah mendudukan diri di samping Mama Melika, Juna kembali bersuara. "Memangnya mama mau aku jawab apa?"

"Jawab iya atau sebentar lagi, Ma. Gitu kek."

"Oke. Iya, Ma." Juna mengangguk patuh dan memberikan jempol ke arah mamanya.

Mama Melika berdecak pelan melihat kelakuan anak satu-satunya. Tangannya terulur menarik tangan Juna yang kosong. Menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Sungguh, dia hanya ingin Juna memiliki penghibur lara lainnya. Tidak ingin anaknya kesepian di kala tua nanti.

Crossroαd: Better ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang