Enam Belas

527 97 19
                                    

Rose

Alamat yang diberikan Taehyung sudah benar. Kos paling pojok dan ada di lantai dua, paling ujung juga. Kalau tidak salah, menggantung angka 6 di depan pintu. Rose juga sudah pastikan kalau yang punya kamar sedang libur. Paling-tidak, kalau keluar mendadak, mungkin sore. Ini masih terhitung pagi dan Rose punya banyak kesempatan untuk mengobrol dengan sosok yang kedekatannya bisa ia manfaatkan demi mengamankan Basuki yang ada di ujung peperangan.

"Jimin," panggil Rose sambil mengetuk pintu beberapa kali. "Swastiastu," susulnya.

Dari dalam, Rose bisa dengar suara benda jatuh. Mulai dari hentakan di atas keramik, beberapa peralatan aluminium yang mencium lantai, sampai ke suara gelas plastik berisikan air yang tumpah. Entah apa yang sudah ia lakukan hingga muncul suatu kekacauan yang tidak diinginkan begini.

"Jimin?" tanyanya memastikan kalau pemuda di dalam bilik kamar itu baik-baik saja.

Belah pintu dibuka pelan-pelan. Sinar mentari baru menyambangi ruangan sempit itu setelah sang empunya muncul. Tirai jendela bahkan belum terbuka barang setitik saja. Mungkin Rose baru saja menjadi alarm penanda bangun tidur secara alami. "Rose," sapa Jimin dengan suara serak khas orang bangun tidur. "Swastiastu."

"Ampura(Maaf), Jimin. Apa aku mengganggu kamu tidur?"

"Tidak, kok." Kebohongan kecil ini membuat Rose bisa meraba-raba sifat dan sikap milik pemuda ini. Mungkin lebih pada orang yang tidak tegaan, enggan menelantarkan orang, dan satu yang jadi aspek supaya Basuki tenang di sampingnya: penyayang. Kombinasi yang pas untuk Basuki yang kesepian. Gerbang awal yang baik. "Mau masuk? Tapi masih berantakan. Maaf, ya."

"Ndak apa-apa, kok. Lagipula, aku mendadak juga datangnya, kan?" Rose menunggu di teras balkon. Jimin harus diberi kesempatan untuk bisa menemuinya di posisi ruangan yang ia anggap nyaman. "Ngomong-ngomong, Jimin. Basuki.. Jeongguk sudah lama ndak kemari, ya?"

"Kemarin baru pulang."

"Oh." Rose manggut-manggut.

"Banyak yang panggil Jeongguk pakai nama itu, ya?"

"Nama?"

"Basuki," kata Jimin. "Teman kantorku juga ada yang panggil dia begitu. Nama kecil?"

Rose mengerjap-ngerjap. Jeongguk belum menyinggung soal kawan Jimin mana yang ikut-ikutan memanggilnya pakai nama sakral. "Ada? Siapa namanya?"

"Bambam." Senyum Jimin mengemban. Ia tidak bersalah sama sekali di kasus ini. Bukan menjadi tanggung jawabnya memberitahu Rose kalau kawannya mengenal Jeongguk. Tidak pula salah Jeongguk yang menyimpan semuanya sendiri. Terkadang, Basuki memang hampir selalu tidak menyinggung hal yang ambigu dan tidak pasti. Mungkin keberadaan Bambam masih ia telaah dan belum yakin dengan dirinya sendiri. "Apa ada pesan dari Jeongguk yang dia titipkan ke kamu, Rose?" tanya Jimin.

Rose menggeleng. "Bukan," katanya, "tapi ada yang lebih penting dari itu."

Pemuda berkaos putih kebesaran dan celana kain santai itu bergeming di tempat. Memandangi Rose penasaran. Terlampau banyak terpampang tanda tanya di raup wajahnya yang kelelahan. Mungkin sehabis begadang. Dari segala kejanggalan yang ada, Rose masih berpegang teguh pada satu kalimat Jeongguk yang tidak pernah ia lupa. Kalau Basuki tidak akan pernah memilih orang yang salah dan mengizinkannya masuk ke kehidupannya yang penuh misteri.


Taehyung

BAYANGAN fatamorgana muncul waktu Jeongguk meniup udara dan menghasilkan percik-percik api dari balik napasnya. Kuasa Basuki memang masih kelihatan lebih dominan pada tubuh Jeongguk meski punya sepasang tangan berjari sepuluh dan sepasang kaki yang tidak bersisik. Laki-laki itu kadang justru unjuk diri seakan ia sedang main sulap dengan anak kecil. Kadang-kadang menyalakan lilin atau bahkan dupa guna beberapa canang yang harus dihaturkan di depan rumah atau di bawah pelangkiran. Taehyung pribadi tidak punya masalah dengan darah sakral yang mengalir di balik nadi sang empu, Basuki itu sendiri. Masalah utama adalah Jeongguk yang terlampau bisa diajak bicara siapa saja. Ia beberapa kali berakhir di pantai dan menyemburkan api guna atraksi. Seakan ia pemain sirkus dadakan yang sudah lama tidak berlatih. Kalau ditanya, jawabnya selalu sama. 'Ya, tiba-tiba bisa langsung keluar, begitu. Ndak tahu asalnya dari mana.'

DewanandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang