Kelopak 4: Perjanjian Gelap

30 16 2
                                    

Kedua lututnya menindih telapak tanganku yang masih terbungkus sarung tangan, sementara matanya tak lepas menatapku intens

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kedua lututnya menindih telapak tanganku yang masih terbungkus sarung tangan, sementara matanya tak lepas menatapku intens. Aku terus berpikir bagaimana cara agar lepas dari makhluk ini, sebelum diriku benar-benar mati muda dan jasadnya tidak ditemukan.

"Dengar, jangan macam-macam denganku," kataku pelan, sedikit gemetar saat dia menunjukkan dua taringnya yang mengkilap. Setelah memastikan dia akan mendengarkan, kusambung kalimat yang tertahan. "Aku ini alot, susah ditelan—"

"Aku ogah makan dagingmu," desisnya jahat, kali ini dia menekan bahuku sampai melesak beberapa milimeter ke tumpukan daun. Kepalanya makin mendunduk, dan seringainya semakin lebar. "Bau darahmu manis."

Tanganku, kali ini aku sungguh mengandalkanmu untuk menyelinap keluar dan menyentuhnya. Tubuhku benar-benar tertutup dari atas sampai bawah, dengan gaun lengan panjang dan legging, serta sepatu kulit. Satu-satunya area kulitku yang terbuka hanyalah wajah dan leher.

Kalau aku bisa berkonsentrasi lebih, sekujur tubuhku mampu menciptakan peleburan. Namun, risikonya lebih tinggi juga: bajuku akan ikut raib. Bagaimana caraku pulang nanti?!

Kepalanya semakin dekat, ditiupnya sisi leherku, menyibakkan helai rambut yang lolos. Kupejamkan mata erat-erat, menjerit pun percuma, takkan ada yang akan mendengarnya.

Selamat tinggal, Vader.

"Akh!" Sepersekian detik, seluruh taringnya menembus leherku. Kurasakan sensasi dingin nan kaku menjalar hingga ulu hati dan pelipisku.

Satu detik, tidak ada perasaan sesuatu dihisap keluar. "Akh!" Detik berikutnya, monster itu yang gantian menjerit dan enyah dari tubuhku. Taringnya keluar tanpa aba-aba, percayalah rasanya lebih sakit dan menyisakan sepasang lubang besar di leherku yang mengalirkan darah.

Buru-buru aku bangkit, tak menunggu waktu lagi untuk tak melepas sarung tanganku. Dengan posisi siaga, kupelototi monster itu terbatuk beberapa langkah di depan. Tangannya memegangi leher, meludah beberapa kali sambil berusaha mengatur napas.

Lihat siapa yang bilang darahku manis dan kini enggan mengecapnya lagi.

"Sudah kubilang, jangan macam-macam." Telapak tangan kananku merasakan sejuknya udara sore di bawah hutan rimbun.

Matahari benar-benar nyaris lenyap ditelan pucuk-pucuk dedaunan. Yang sanggup kupandang dari sini hanya bulan cembung kebiru-biruan, masih malu-malu disinari mentari.

Monster itu masih terbatuk-batuk, sayapnya menekuk sedemikian rupa hingga wujudnya mirip seperti kecoa raksasa. Tangannya kalang-kabut merogoh pernik-pernik di ikat pinggangnya, menarik paksa sebuah botol kaca kecil, menelan isinya dengan sekali gerakan.

Apa itu ... serbuk Giftige Levensbloem! Bagaimana bisa dia memilikinya?!

"Hei—"

"Jangan mendekat!" serunya, berusaha bangkit.

Debora: Vervloekte Hand [Leanders Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang