Tidak terasa sudah enam semester, aku mencari bulir-bulir ilmu di kampus ini. Kini umurku sudah melewati batas masa remaja, tidak ada lagi yang namanya permainan dalam hal apapun. Semuanya berjalan dengan serius, tidak, ini bukan gambaran kata flat yang kalian pikirkan. Ini hanyalah sebuah permulaan dari sebuah jengkal hidupku yang akan terus diukur sampai aku kembali ke tanah. Aku, Ajeng Pradnya dan inilah penggalan hidupku.
Lahir sebagai Suku Jawa tulen, tentunya aku dibanjiri dengan beragam peraturan yang memang sudah hadir dari sebelum aku lahir. Diperkenalkan dengan beragam kebudayaan yang akhirnya membentukku menjadi pecinta karya seni. Keluargaku tidak pernah menyuruhku untuk menjadi peseni, mereka hanya mengajarkanku bagaimana cara menghargai sebuah tradisi. Meskipun ketertarikanku akan seni sangatlah besar, jurusan yang aku ambil sejak awal adalah komunikasi. Aku berpikir, jika aku tidak bisa menjadi peseni, maka aku yang akan mengenalkan seni itu. Entahlah, hanya pemikiran anak sekolah menengah yang pasrah akan sebuah kampus impian.
Bicara tentang keluargaku, sebagai anak terakhir dari dua bersaudara, aku jelas tidak akan melangkahi kakakku dalam segala hal. Mungkin ini juga termasuk kedalam kultur budaya selama aku tinggal di Indonesia. Ayahku bekerja sebagai dokter umum di rumah sakit swasta, sementara ibu merupakan seorang peseni yang handal. Beliaulah yang mengajarkan anak-anaknnya—aku dan kakakku, Swara—menjadi gadis yang pandai menghargai seni. Oh! Aku hampir lupa menyebutkan. Aku juga memiliki satu teman yang sangat dekat denganku sejak kecil, Djaka.
Aku mengenal Djaka dahulu sekali, sewaktu ayah ditugaskan di rumah sakit yang ada di Bandung. Rumahku dan Djaka hanya berjarak lima meter, kebetulan kita dahulu satu sekolah dasar. Sebagai informasi, dahulu di Bandung aku hanya bertahan selama tiga tahun karena ayah telah menyelesaikan tugasnya. Aku berpisah dengan Djaka selama sekolah menengah pertama sampai hari ini. Jadi, itulah sedikit latar belakang kehidupanku, maaf jika tidak menyenangkan.
Hari itu, pagi-pagi buta setelah adzan shubuh, aku sudah bersiap mengenakan pakaian rapih berseta almamater kampusku tercinta. Hari yang sama, sedang ada pagelaran seni di aula kampusku dan itu dihadiri oleh mahasiswa dari kampus-kampus lain di kotaku, Yogyakarta. Dengan baiknya, ibu juga telah menyiapkan bekal sarapan untukku, jujur aku sangat menyayanginya. Aku tidak bisa berlama-lama di meja makan dan segera berangkat ke kampus. Jalanan terasa sepi, aku bersenandung nyanyian masa kecil yang dikenalkan ibu padaku. Sehingga, tidak terasa aku sampai dan memarkirkan mobilku di parkiran kampus.
Syukur sekali, aku tidak telat datang, aku menghampiri teman kepanitianku. "Aya! Hei! Uwes teko opo ket mau?" tanyaku dalam bahasa jawa.
"Weh Jeng, wes ket mau. Awakmu wes sarapan po durung?" tanyanya. Aku mengangguk sembari tersenyum lalu berjalan bersama Aya menuju ke aula untuk mempersiapkan semuanya.
Persiapan selesai tepat pukul tujuh pagi, saat aku keluar dari pintu masuk aula. Terkejutnya aku yang melihat antrean panjang menjalar seperti ular di bagian pendaftaran. Rasanya bahagia sekali karena banyak mahasiswa yang hadir dalam pagelaran seni ini. Aku berjalan santai melewati mereka sembari mengecek ponselku, barangkali ada yang whatsapp—meskipun tidak ada. Saat hampir mendekati pintu masuk gedung kampus, seseorang memanggil namaku dengan lantang dan berat.
"Ajeng!" dengan sigap aku membalik badan dan melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi datang berlari kecil menghampiriku. Ditubruknya badan kecilku hingga aku sedikit terdorong. Laki-laki itu memeluk tubuhku erat, sementara mataku melirik sekitar yang sudah memandanginya aneh. Aku langsung mendorong kuat laki-laki dengan jas biru ini.
"Ajeng, apa kabar? Ini gue, lo lupa?" ucapnya tiba-tiba. Aku hanya mengangkat alis, mencoba memperhatikan wajah dan seluruh tubuhnya. Tidak ada bagian yang dapat aku ingat, siapa orang ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
short*
General FictionIni hanyalah segelintir dari banyaknya kisah yang pernah terjadi. Tidak banyak yang tahu, hanya mereka yang ingin yang dapat memahaminya. Cerita ini tidak berharap dan tidak mengharap kalian untuk melanjutkan. Apapun yang kau rasakan dan alami, akan...